Laman

Jumat, 02 Desember 2011

persib online

Prihatin pada PSSI.

Dua kompetisi menjadi dua kebenaran absolut di jagad si kulir bundar. Masing-masing merasa benar dengan kebenarannya. Padahal, masa depan sepakbola negeri ini berada di ambang kegelapan total.

Modal besar sebenarnya sudah dimiliki persepakbolaan kita. Melihat penampilan timnas U-23 dalam SEA Games XXVI/2011 lalu, rasanya, kita patut optimistis terhadap masa depan sepakbola Indonesia.

Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan bahkan menyebut sepakbola mampu membangkitkan rasa nasionalisme. 
Sayangnya, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) tidak bisa memanfaatkan modal berharga tersebut. Kita kembali lemas bila melihat polemik yang melanda PSSI saat ini. Dualisme kompetisi seperti yang terjadi pada era kepemimpinan Nurdin Halid terulang dalam era kepemimpinan Djohar Arifin Husin. Kali ini lebih parah.

Pada masa Nurdin, konflik terjadi antara pengurus PSSI dan kelompok di luar pengurus. Saat itu juga ada musuh bersama, yakni Nurdin Halid. Kini konflik justru terjadi di internal kepengurusan. Terutama di komite eksekutif (exco).

Konflik tersebut juga melahirkan dua kompetisi, yakni Indonesian Premier League (IPL) yang diselenggarakan PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS). Liga inilah yang diakui PSSI. Kemudian, ada Indonesia Super League (ISL) yang diselenggarakan PT Liga Indonesia. Lebih parah, dualisme kompetisi tersebut juga menimbulkan perpecahan di sejumlah klub. Dulu hanya Persebaya yang pecah menjadi dua, yakni Persebaya (divisi utama) dan Persebaya 1927 (LPI). Kali ini ada tiga klub besar yang pecah, yaitu PSMS Medan, Arema, serta Persija Jakarta.

Cukup sulit mencari solusi untuk menyudahi dualisme kompetisi. Tampaknya, persepakbolaan di tanah air sudah dikuasai dua kartel yang bersaing. Satu kartel berada di balik IPL dan satu lagi membekingi ISL. Mereka menggelontorkan uang puluhan miliar rupiah untuk penyelenggaraan kompetisi serta menyubsidi klub-klub.

Agak sulit untuk mengidentifikasi motif dua kartel sepakbola itu. Namun, yang pasti, antusiasme publik terhadap sepakbola tentu sangat menggiurkan bagi siapa pun. Tapi, cukup mudah mengidentifikasi motif para kaki tangan kartel yang menjadi corong konflik PSSI. Motif mereka tentu saja uang dan popularitas. Para pion itulah yang kian menyuburkan konflik.

Bayangkan saja, ada orang yang sebelumnya sangat awam terhadap sepakbola namun dalam dua bulan menjadi sangat terkenal karena menjadi corong konflik. Sebelumnya hanyalah tokoh lokal, kini dia menjadi tokoh nasional di bidang sepakbola. Dia begitu menikmati konflik yang terjadi karena makin sering muncul di televisi nasional dan surat kabar. Seolah-olah merasa seperti pahlawan. Orang-orang semacam itu justru berharap konflik terus subur sehingga kantong mereka semakin tebal dan makin populer.

Sulit berharap kepada Djohar Arifin untuk bisa menyelesaikan masalah tersebut. Sebab, dia juga bagian dari konflik itu. Konflik di PSSI dan dualisme kompetisi akan selesai bila dua kartel sepakbola tersebut bisa dipertemukan dalam satu meja. Tapi, mempertemukan mereka bukan hal yang mudah. Yang bisa dilakukan saat ini adalah mengambil hikmah dari dualisme kompetisi tersebut. Siapa tahu, dengan dua kompetisi, makin banyak pemain yang tertampung di klub, sehingga makin banyak pemain berbakat yang muncul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar