Laman

Rabu, 16 Maret 2016

DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Seminar Pendidikan Agama Islam

Dosen
Dra. Hj. Titing Rohayati, M. Pd.








Oleh:





oleh :









Oleh
Iin Muharomah 1102452

V B PG-PAUD



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
KAMPUS CIBIRU
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. yang telah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan makalah yang berjudul  “Demokrasi dalam Perspektif Islam.” Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Seminar Pendidikan Agama Islam.
Islam merupakan agama yang sempurna, salah satunya ditandai dengan sistemnya yang komprehensif. Artinya tidak ada satu perkara pun dalam hidup ini terlepas dari perhatian agama islam. Begitupun perkara yang berkaitan dengan kehidupan berorganisasi dalam negara dan juga kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya bentuk pemerintahan dalam islam diatur dalam Al-Qur’an dan Hadist. Adapun salah satu bentuk pemerintahan yang banyak dianut oleh berbagai negara termasuk Indonesia adalah demokrasi. Namun demikian bahwa sistem ini tidak sepenuhnya sejalan dengan islam dan tidak sepenuhnya menentang islam. Lalu bagaimana kah demokrasi di Indonesia? bagaimana demokrasi dalam perspektif islam? dan bagaimana cara masyarakat menyikapi demokrasi di Indonesia? Pertanyaan inilah yang akan menjadi fokus makalah yang disusun penulis. Semoga dengan uraian yang komprehensif ini, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai demokrasi dalam perspektif islam.
Penulis menyadari bahwa selama penulisan makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak yang tidak bisa penulis sebut satu persatu. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga Allah swt. memberikan balasan yang berlipat ganda.
Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki banyak kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.

Bandung, 20 November 2013
   

Penulis


















DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penulisan Makalah 3
D. Manfaat Penulisan Makalah 3
E. Metode Penulisan Makalah 3
F. Sistematika Penulisan Makalah 3
BAB II KAJIAN TEORI 4
A. Konsep Demokrasi 4
B. Prinsip-prinsip Bentuk Pemerintahan dalam Islam 6
BAB III PEMBAHASAN 10
A. Demokrasi di Indonesia 10
B. Demokrasi dalam Perspektif Islam 12
C. Masyarakat dalam Menyikapi Demokrasi Indonesia 15
BAB IV PENUTUP 19
A. Kesimpulan 19
B. Saran 19
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang sempurna, salah satunya ditandai dengan sistemnya yang komprehensif. Artinya tidak ada satu perkara pun dalam hidup ini terlepas dari perhatian agama islam. Begitupun perkara yang berkaitan dengan kehidupan berorganisasi dalam negara dan juga kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya bentuk pemerintahan dalam islam diatur dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Salah satu bentuk pemerintahan yang banyak dianut oleh berbagai negara termasuk Indonesia adalah demokrasi. Hal ini sedikit memberikan gambaran bahwa demokrasi ini bentuk pemerintahan yang baik. Bahkan tidak jarang juga orang berpendapat bahwa apabila demokrasi dalam sebuah negara ini benar-benar dijalankan, maka bisa jadi negaranya teratur dengan baik, sejahtera, dan sesuai yang diharapkan.
Adapun yang dimaksud dengan demokrasi merupakan salah satu bentuk pemerintahan yang menekankan kedaulatan berada di tangan rakyat. Lebih lanjut dalam hal ini rakyat berpartisipasi atau memberikan aspirasi dalam merencanakan program pembangunan, rakyat terlibat dalam melaksankan program pembangunan, dan rakyat juga dijadikan tujuan dengan program pembangunan yang telah dijalankan.
Lebih lanjut, apabila dikaitkan dengan islam, demokrasi ini seringkali identik dengan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan atau dikenal dengan istilah syura. Syura ini merupakan salah satu hal yang wajib dilakukan ketikan akan memecahkan permasalahan dalam upaya mencapai tujuan bersama. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah dalam Q.S As-Syuro ayat 38.
             
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
Berdasarkan ayat tersebut menunjukan bahwa ketika akan memutuskan suatu perkara atau urusan dapat dilakukan dengan musyawarah (syura). Begitu pun dalam demokrasi, hal ini merupakan salah satu esensi yang terkandung di dalamnya yaitu terkait adanya partisipasi rakyat dalam merencanakan dan menjalankan program pembangunan dalam kehidupan bernegara, hal ini dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk musyawarah. Namun demikian bahwa hal ini sangat perlu dikaji lebih lanjut.
Adapun dalam terkait demokrasi ini awal mulanya bukan berasal dari Islam, sehingga wajar apabila demokrasi tidak seluruhnya sejalan dengan syariat Islam, walaupun demikian berdasarkan uraian di atas memang tidak seluruhnya juga menentang syariat islam. sehingga dalam hal ini perlu kiranya disusun sebuah makalah yang mampu menambah wawasan dan pemahaman terkait dengan demokrasi dalam perspektif islam. Adapun dalam hal ini penulis menyusun sebuah makalah yang berjudul “Demokrasi dalam Perspektif Islam.”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana demokrasi di Indonesia?
2. Bagaimana demokrasi dalam perspektif Islam?
3. Bagaimana masyarakat menyikapi demokrasi di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan Makalah
Sejalan dengan rumusan masalah di atas maka penulis menentukan tujuan penulisan makalah sebagai jalan untuk  mengetahui dan mendeskripsikan:
1. Demokrasi di Indonesia;
2. Demokrasi dalam perspektif Islam;
3. Masyarakat menyikapi demokrasi di Indonesia.

D. Manfaat Penulisan Makalah
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan, baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai pengetahuan mengenai demokrasi dalam perspektif Islam, secara praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi :
1. penulis, sebagai penambah pengetahuan mengenai demokrasi dalam perspektif Islam.
2. pembaca, sebagai media informasi mengenai demokrasi dalam perspektif Islam.

E. Metode Penulisan Makalah
Makalah ini disusun dengan menggunakan metode deskriptif. Artinya melalui metode ini penulis akan menguraikan permasalahan yang dibahas secara jelas dan komprehensif. Data teoritis dalam makalah ini dikumpulkan malalui studi pustaka, artinya penulis mengambil data melalui kegiatan membaca berbagai literatur yang relevan dengan tema makalah. Data tersebut diolah dengan teknik analis isi melalui kegiatan mengeksposisiskan data serta mengaplikasikan data tersebut dalam konteks tema makalah.

F. Sistematika Penulisan Makalah
Kata Pengantar, Daftar Isi, Bab I Pendahuluan (Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan Makalah, Manfaat Penulisan Makalah, Metode Penulisan Makalah, Sistematika Penulisan Makalah), Bab II Kajian Teori (Konsep Demokrasi dan Prinsip-prinsip Bentuk Pemerintahan dalam Islam), Bab III Pembahasan (Demokrasi di Indonesia, Demokrasi dalam perspektif Islam, dan Masyarakat menyikapi demokrasi di Indonesia), Bab IV Penutup (Kesimpulan, Saran).

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Konsep Demokrasi
1. Pengertian Demokrasi
Demokrasi merupakan salah satu bentuk pemerintahan yang banyak digunakan oleh berbagai negara termasuk Indonesia. Adapun secara etimologi, demokrasi berasal dari bahasa Yunanni, yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “kratos atau kratein” yang berarti kekuasaan atau berkuasa, sehingga dapat dikatakan bahwa demokrasi ini adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan atau kedaulatannya berada di tangan rakyat. Lebih lanjut berikut disajikan beberapa pengertian demokrasi menurut para ahli.
Abraham Lincoln (Darmawan, 2009: 1) menyatakan bahwa demokrasi adalah “the goverment from the people, by the people, and for the people” yang artinya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.  Artinya rakyat berperan sebagai perencana dan pelaksana kebijakan atau program pembangunan negara, dan melalui kebijakan atau program pembangunan negara yang dijalankan tersebut bertujuan untuk mensejahterakan rakyat.
Sejalan dengan pendapat Hook (Darmawan, 2009: 1) yang menyatakan bahwa “demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung, didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas oleh rakyat dewasa.” Artinya keputusan-keputusan ditentukan oleh suara mayoritas dari raktat dewasa.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang memandang bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Dalam hal ini rakyat sangat berpengaruh terhadap pemutusan kebijakan dan pelaksana kebijakan serta dijadikan sebagai tujuan kebijakan.
2. Sejarah Munculnya Demokrasi
Berdasarkan uraian sebelumnya demokrasi ini secara etimologi berasal dari bahasa Yunani. Adapun di sisi lain, dalam hal ini di lain pihak islam hadir lebih dahulu dari pada Yunani. Namun demikian istilah demokrasi ini tidak dikenal dalam islam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa demokrasi ini tidak berawal dari islam. Adapun Huki (http://blogbelajar-pintar.blogspot.com/2013/09/sejarah-demokrasi.html) menyatakan bahwa
demokrasi sebagai sistem pemerintahan, dalam bentuk klasik sudah digunakan sejak zaman Yunani Kuno (kurang lebih abad V SM). Pada masa itu, Yunani dengan Negara kotanya (polis) telah mempraktekkan pemerintahan dengan partisipasi langsung rakyat dalam membicarakan persoalan pemerintah (demokrasi langsung).
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa negara yang pertama kali menggunakan demokrasi adalah di Yunani tepatnya di Athena. Dalam hal ini demokrasi yang dijalankan adalah dengan partisipasi langsung para warga negara atau tidak diwakilkan. Hal ini dapat dilakukan karena jumlah warga megaranya pun tidak terlalu banyak. Partisipasi tersebut akan menghasilkan kebijakan. Dalam hal ini suara mayoritas merupakan penentu untuk memutuskan sebuah kebijakan.
Setelah meluasnya wilayah negara, maka jumlah penduduk pun semakin luas. Pada tahap ini terjadi tansformasi budaya demokrasi dari demokrasi langsung ke sistem demokrasi perwakilan.
Dalam perkembangannya demokrasi semakin dikembangkan khususnya didunia Barat, hal ini sesuai dengan pendapat Hakim (http://www.zainalhakim.web.id/sejarah-demokrasi.html) yang menyatakan bahwa
sepanjang abad ke 17 dan 18 di Eropa Barat, diantaranya telah melahirkan sistem demokrasi di dalam tata bermasyarakat dan berpemerintahan. Sebenarnya yang terjadi di Eropa ketika demokrasi menjadi alternatif adalah penerusan dari suatu tradisi tentang tata cara pengaturan hidup bersama yang dilaksanakan oleh warga kota Athena, Yunani, pada beberapa abad sebelum masehi. Sejak tiga dekade terakhir dunia menyaksikan kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan demokrasi. Sejak tahun 1972 jumlah negara yang mengadopsi sistem politik demokrasi telah meningkat lebih dari dua kali lipat, dari 44 menjadi 107. Pada akhir tahun 90-an, hampir seluruh negara di dunia ini mengadopsi pemerintahan demokratis, meski masing-masing dengan variasi sistem politik tertentu.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimplukan bahwa demokrasi ini pada mulanya bukan berasal dari islma, tetapi lahir di kota Athena Yunani yang dalam perkembangannya dikembangkan oleh Eropa Barat. Hingga pada akhirnya  Indonesia pada saat ini bentuk pemerintahannya adalah menggunakan demokrasi.
3. Prinsip-prinsip Demokrasi
Seperti halnya dalam penyelenggaraan sesuatu bahwa agar dapat dijalankan secara ideal, tentunya alangkah lebih terarah apabila berpatokan pada prinsip-prinsip. Adapun terkait demokrasi yang merupakan salah satu bentuk pemerintahan, agar dalam penyelanggaraannya dapat dijalankan secara ideal maka perlu adanya prinsip yang dijadikan patokan. Adapun prinsip-prinsip demokrasi menurut Alamudi (Darmawan, 2009: 2), adalah sebagai berikut.
a. Kedaulatan rakyat.
b. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah.
c. Kekuasaan mayoritas.
d. Hak-hak minoritas.
e. Jaminan hak asasi manusia.
f. Pemilihan yang bebas dan jujur.
g. Persamaan di depan hukum.
h. Proses hukum yang wajar.
i. Pembatasan pemerintahan secara konstitusional.
j. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik.
k. Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Melalui memperhatikan berbagai prinsip tersebut diharapkan dalam penyelenggaraannya demokrasi ini lebih terarah sehingga cita-cita demokrasi yang ingin dicapai akan mudah dicapai secara ideal.

B. Prinsip-prinsip Bentuk Pemerintahan dalam Islam
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa demokrasi bukanlah lah berasal dari islam. Adapun di sisi lain pada dasarnya Islam merupakan agama yang sempurna dan komprehensif. Artinya tidak ada satu aspek kehidupan pun yang tidak diatur dalam islam termasuk hal yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Jalannya sebuah kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak terlepas dari sebuah bentuk negara atau sistem pemerintahan yang diambil. Adapun dalam islam pun hal ini diatur dan tentunya disajikan dalam Al-Qur’an dan Hadist. Begitupun berbagai prinsip bentuk pemerintahan dalam islam ini merupakan ciri-ciri kepemimpinan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, hal ini dapat dilihat dari firman Allah dan sebagai berikut.
             
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.(Q. S. Asy-Syura: 38)
Dari ayat tersebut, yang perlu digarisbawahi adalah pentingnya memutuskan suatu perkaran melalui musyawarah atau dalam islam dikenal dengan istilah syura. Termasuk dalam hal kebijakan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Adanya syura ini juga diharapkan masyarakat diberikan kebebasan (al-hurriyyah) untuk menyampaikan pendapatnya, selama tidak bertentengan dengan Al-Qur’an dan Hadist. Adapun prinsip lain yang harus diperhatikan diantaranya Al-Adalah atau keadilan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Maidah ayat 8.
          •            •          
Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Maidah ayat 8)
Ayat tersebut menjelaskan terkait dengan pentingnya sebuah keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, pemerintah senantiasa tidak membedakan antara satu kaum dengan yang lainnya. Selanjutnya prinsip yang harus diperhatikan juga adalah al-musawah yang artinya kesejajaran. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13.
 ••           •      •      
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Al-Hujurat ayat 13)
Dari ayat ini menjelaslan bahwa setiap manusia itu dalam keadaaan setara baik dilihat dari jenis kelamin maupun suku yang berbeda. Adapun yang membedakan adalah ketakwaaanya. Dalam hal ini berarti bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, islam mengajarkan pentingnya menyetarakan para warga negaranya, tidak ada pihak, suku ataupun kelompok tertentu yang diistimewakan. Selanjutnya prinsip lain dari bentuk pemerintahan islam ini adalah al-Masuliyyah dan amanah yang berarti tanggung jawab dan dapat dipercaya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Annisa ayat 58.
 •           ••     •      •       
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (Q.S. Annisa ayat 58).























BAB III
PEMBAHASAN

A. Demokrasi di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut demokrasi. Bahkan dalam sejarahnya juga dikatakan bahwa demokrasi ini telah dianut sejak pemerintahan Soekarno yang dikenal dengan demokrasi terpimpin. Selanjutnya dalam pemerintahan Suharto pun dikenal dengan demokrasi pancasila. Hingga pada akhirnya saait ini bahwa Indonesia masih menganut demokrasi yang ditandai dengan adanya berbagai pemilihan umum dalam menentukan pemimpin negara.
Adapun terkait dengan konstitusi yang digunakan yaitu UUD 1945 dan dasar negara yaitu pancasila. Kedua hal tersebut, apabila dianalisis ternyata menunjukan adanya prinsip demokrasi, khususnya dalam pancasila sila ke empat yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”
Dari bunyi sila ke empat tersebut, dapat dinyatakan bahwa demokrasi yang dianut oleh Indonesia adalah demokrasi yang tidak langsung yaitu sistem demokrasi yang dijalankan menggunakan sistem perwakilan yang diwakilkan kepada badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Walaupun demikian adakalanya rakyat juga berpartisipasi langsung dalam pemerintahan seperti pada pemilihan menentukan pemimpin atau Presiden, Wakil Presiden, Gubernur dan sebagainya.
Dalam hal ini rakyat berhak menentukan secara bebas siapa saja yang akan dipilih sesuai dengan keinginan hatinya, tanpa harus dipaksa oleh berbagai pihak tertentu. Tentunya dalam hal ini secara tidak langsung para rakyat akan memilih pemimpin yang mampu mensejahterakan negara secara keseluruhan yang sesuai dengan cara hidup yang baik menurut masing-masing individu. Atau secara langsung dapat dikatakan bahwa esensinya adalah dari rakyat dan untuk rakyat yang harus dijalankan pula oleh rakyat.
Kembali lagi pada pancasila, pada dasarnya pengkajiannya tidak bisa secara parsial atau terpotong-potong karena seluruh sila tersebut merupakan kesatuan yang utuh, tidak bisa dipisah-pisahkan. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa Tim Penulis Dosen pendidikan Agama Islam Universitas Indonesia (2009: 181) menyatakan bahwa “pancasila dapat dilihat terdiri dari sila pertama sebagai dasar, sila kedua sebagai pancaran sila pertama, sila ketiga sebagai wahana, sila keempat sebagai cara, dan sila kelima sebagai tujuan.” Artinya yang dijadikan dasar seseorang menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara di negara Indonesia diawali atau didasari dengan “Ketuhanan yang Maha Esa”, artinya apabila individu sebagai umat Islam maka dalam kehidupannya harus dilandasi dengan syariat sesuai agamanya hal ini kemudian akan dipancarkan pada sila kedua yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam wahana sila ketiga “persatuan Indonesia”. Bermodalkan ke tiga sila tersebut dapat dilakukan melalui sila keempat  “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” yakni demokrasi, dan pada akhirnya akan tercapai sebuah tujuan yang terdapat pada sila ke lima yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa pancasila ternyata memadukan nilai-nilai spiritual dan duniawi, yakni sila pertama dengan sila ke lima yang dapat diwujudkan melalui sila keempat, sebagai salah satu bentuk demokrasi. Hak ini dapat dilihat dari  kaidah-kaidah demokrasi yang dikemukakan oleh Kotowijoyo (Tim Penulis Dosen pendidikan Agama Islam Universitas Indonesia, 2009: 181) di antaranya “(1) Taaruf, (2) syuro (musyawarah), (3) ta’awun, (4) maslahah, dan (5) ‘adl (adil). Maka dapat disederhanakan bahwa syura atau musyawarah itu merupakan bagian dari demokrasi.” Akan tetapi terkait dengan syuro ini akan lebih baik jika dikaji lebih lanjut. Untuk memahami lebih lanjut, akan disajikan pada uraian selanjutnya.


B. Demokrasi dalam Pandangan Islam
Islam merupakan agama yang sempurna, salah satunya ditandai dengan sistemnya yang komprehensif. Artinya tidak ada satu perkara pun dalam hidup ini terlepas dari perhatian agama islam. Begitupun perkara yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan juga kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya bentuk pemerintahan dalam islam diatur dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Terkait dengan bentuk pemerintahan yang dianut di Indonesia adalah demokrasi, sebetulnya demokrasi ini tidak dikenal dalam islam. Di sisi lain dalam praktik penyelenggaraan negara modern saat ini, istilah musyawarah seringkali identik dengan demokrasi. Paling tidak seringkali demokrasi dalam pandangan islam ini dikaitkan dengan istilah syura/ musyawarah.
Adapun Asy-Syawi (1997: 383) meyatakan yang dimaksud dengan syura adalah “tukar menukar pendapat, dan ikut serta dalam hal tanggung jawab masyarakat dan dalam menjalankan urusan-urusannya, serta mengambil ketetapan-ketetapan yang menjadi keperluan jamaah.” Namun demikian bahwa yang dimaksud dengan demokrasi adalah bentuk syura versi Barat dan tidak seluruhnya sama benar dengan syura yang dimaksud dalan Islam, karena musyawarah demokrasi lebih menekankan pada suara mayoritas saja tanpa terlalu mempertimbangkan syariat-syariat Islam. Artinya hasil musyawarah yang dijadikan patokan untuk memutuskan kebijakan adalah suara mayoritas tanpa memandang kesesuainya dengan syariat-syariat Islam. Berkaitan dengan hal tersebut,  Al-Aqqad (Tim Penulis Dosen pendidikan Agama Islam Universitas Indonesia, 2009: 177) menyatakan bahwa “suara mayoritas dalam musyawarah bukanlah tolak ukur kebenaran menurut konsep Islam, karena dalam berbagai ayat dan surat Al-Qur’an jelas tidak membenarkan asumsi bahwa suara mayoritas mutlak kebenarannya”.
Lebih lanjut demokrasi yang berkembang dari dunia Barat ini juga seringkali dipahami bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat. Sedangkan dalam Islam, kekuasaan mutlak hanya berada pada Allah. Hal ini sesuaia dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Araf ayat 56.
                •                    
Artinya: Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy[548]. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam. (Q.S. Al-Araf ayat 56).
Dari ayat ini berkaitan dengan demokrasi yang perlu digaris bawahi bahwa “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam, ” ini menunjukan bahwa kedaulatan yang sesungguhnya hanyalah di tangan Allah. Dalam hal ini Al-Maududi (Tim Penulis Dosen pendidikan Agama Islam Universitas Indonesia, 2009: 177) menyatakan bahwa “musyawarah yang diistilahkan demokrasi Islam menyandarkan politiknya pada landasan kedaulatan Tuhan dan kekhalifahan manusia.” Artinya dalam islam diyakini bahwa kekuasaan mutlak itu hanya berada di tangan Allah swt., hanya saja manusia ini berperan sebagai khalifah atau wakil dalam mengambil keputusan tertentu yang harus sesuai dengan hukum-hukum Allah yaitu Al-Qur’an dan Hadist.
Sebagaimana dibahas dalam bab sebelumnya dikatakan bahwa demokrasi ini memang tidak seluruhnya bertentangan dengan Islam, tetapi juga tidak seluruhnya sejalan dengan Islam. Adapun dalam hal ini, di sisi lain apabila dianalisis lebih jauh, demokrasi dan Islam ini dapat ditemukan titik temunya. Tim Penulis Dosen pendidikan Agama Islam Universitas Indonesia (2009: 178) menyatakan bahwa “titik temu itu terletak pada perilaku sesungguhnya bahwa keduanya merupakan realitas budaya dengan subjek yang sama yaitu manusia.” Artinya islam sebagai agama ini dapat diwujudkan atau diaktualisasikan pada saat islam mampu dipahami, dihayati dan dipraktekan oleh umatnya dalam realitas budaya, termasuk budaya yang melembaga atau pemerintahan suatu negara.
Lebih lanjut dalam hal ini, demokrasi yang berkembang dalam di kalangan umat Islam memerlukan sikap para pemeluknya untuk meyakini dan menghayati ajaran atau syariat secara benar, walaupun hal ini hanya komitmen untuk pribadi, justru akan menjadikan masing-masing orang akan mendapatkan semangat yang sama seperti yang diajarkan agamanya untuk menjungjung tinggi nilai dan harkat derajat kemanusiaan dengan demokrasi. Misalnya di negara Indonesia yang notabennya Islam berada pada mayoritas ini akan memberikan kemudahan dalam menjalankan demokrasi yang sesuai dengan syariat Islam. Artinya ketika semua warga negara Indonesia  yang memeluk agama Islam mamapu meyakini dan menghayati ajaran atau syariatnya secara benar, maka dengan jumlahnya yang mayoritas tersebut memungkinkan aspirasi-aspirasi atau keputusan yang diberikanpun tidak akan jauh dari syariat yang yang pegang, sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil pun adalah kebijakan yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist.
 Adapun Al-Qardawi ((Tim Penulis Dosen pendidikan Agama Islam Universitas Indonesia, 2009: 179) menyatakan bahwa
Demokrasi yang sebenarnya yang memberikan bentuk dan cara praktis, seperti pemilihan dan referendum umum, mendukung pihak mayoritas, menerapkan sistem multi partai, memberikan hak kepada minoritas untuk beraposisi, menjamin kebebasan pers dan kemandirian peradilan.
Dalam uraian selanjutnya Al-Qardawi memandang bahwa hal ini tidak bertentangan dengan islam atau Al-Qur’an dan Hadist. Lebih lanjut Hidayat (Tim Penulis Dosen pendidikan Agama Islam Universitas Indonesia, 2009: 179) menyatakan pendapatnya yang memperkukuh demokrasi dalam hubungannya dengan agama yakni sebagai berikut.
Bila cita-cita demokrasi dan misi agama adalah pendidikan dan pelayanan pada masyarakat untuk mengaktualisasikan potensi manusianya melalui pranata masyarakat dan negara, maka agama dan demokrasi mestinya saling mengisi. Agama memberikan pedoman moral dan daya imperatif yang bersifat transenden, yang datang dari atas. Sementara demokrasi merupakan dinamika etis kemanusiaan yang datang dari bawah...semakin tinggi tingkat keberagamaan seseorang, barangkali akan semakin tinggi apresiasinya terhadap demokrasi. Begitu pun sebaliknya, semakin tinggi kadar penghayatan demokrasi seseorang, akan semakin toleran ia menghadapi pluralisme keberagamaan.
Artinya dalam hal ini dapat dipahami bahwa Islam sebagai agama memberikan pedoman kepada manusia untuk memahami makna yang terkandung dalam demokrasi. Dimana demokrasi dalam hal ini diterima dan dipoles dengan Islamisasi. Adapun di lain pihak, ketika seseorang itu benar-benar memiliki penghayatan yang benar terhadap Islam, secara tidak langsung dapat mampu memahami adanya beberapa nilai-nilai Islam yang terkandung dalam demokrasi, sehingga memiliki apresiasi yang tinggi terhadap demokrasi. Bahkan dalam perkembangannya hal ini juga memunculkan adanya islamisasi demokrasi.
Selanjutnya islam sebagai pedoman hidup manusia. Artinya Islam senantiasa memberikan pedoman cara-cara menjalani hidup. Adapun terkait dengan domokrasi ini ternyata ada beberapa hal yang secara tidak langsung menggambarkan cara untuk hidup (way of life). Hal ini dapat dilihat dari adanya sikap saling menghargai pendapat orang lain, kesetaraan, tidak sewenang-wenang, dan berorientasi pada kepentingan bersama. Begitupun dalam konteks pemerintahan bahwa demokrasi ini melibatkan pihak rakyat (suara rakyat). Lebih lanjut juga demokrsi ini menegaskan pentingnya pencapaian hak-hak rakyat. Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang memeperlakukan setiap warga negaranya memiliki kedudukan yang sama, tidak ada yang diistimewakan atau dibeda-bedakan golongan atau pribadi tertentu, dalam islam hal ini dikenal dengan al-musawah.

C. Masyarakat dalam Menyikapi Demokrasi di Indonesia
Berdasarkan uraian sebelumnya, dikatakan bahwa demokrasi dalam pandangan Islam ini tidak seluruhnya sejalan dengan Islam, akan tetapi tidak seluruhnya juga sejalan dengan Islam. Sehingga dalam hal ini umat sebagai rakyat atau masyarakat dalam sebuah negara demokrasi, perlu memiliki sikap yang bijaksana dalam menanggapi demokrasi.
Begitupun sebagai masyarakat Indonesia yang memiliki bentuk pemerintahan negaranya demokrasi, dan di lain pihak mayoritas penduduknya beragama Islam, perlu juga memiliki sikap yang sebijak-bijaknya dalam menanggapi demokrasi. Dalam hal ini tidak diperkenankan rakyat menolak bentuk pemerintahan yang digunakan sehingga misalnya tidak ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum, yang dilandasi dengan idealisme bahwa demokrasi ini bertentangan dengan Islam, sehingga berdampak pada tidak memberikannya kontribusi dalam menentukan sebauh keputusan, misalnya dengan selalu menjadi golongan putih saat Pemilu. Begitupun juga sebaliknya bahwa dalam hal ini juga tidak diperkenankan rakyat terlalu fanatik terhadap demokrasi sehingga dalam menjungjung tinggi hal ini benrdampak adanya sebuah sikap untuk selalu menyetujui hasil keputusan mayoritas sekalipun yang bertentangan dengan syariat, dengan dilandasi bahwa kebenaran sepenuhnya ada pada suara mayoritas. Kedua hal ini tentu sangat tidak diharapkan.
Adapun sikap bijak yang dapat dilakukan masyarakat Indonesia khusunya yang beragama Islam, adalah berpartisipasi dalam penyelenggaraan demokrasi dengan dilandasi oleh nilai-nilai islami, atau dengan singkat dapat dikatakan islamisasi demokrasi atau memasukan nilai-nilai islam pada demokrasi. Artinya sebagai warga negara yang baik, maka setiap warga baik pemerintah atau pun rakyat secara bersama-sama menjalankan perannya untuk mencapai cita-cita demokratis yang dalam hal ini dilandasi dengan nilai-nilai islami.
Lebih lanjut Salim Ali Al-Bahnasawi (http://layartekno.blogspot.com/2012/11/memahami-konsep-islam-tentang-demokrasi.html) mengungkapkan bahwa ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut.
a. Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
b. Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
c. Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
d. Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa pertama terkait dengan menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah. Hal ini melahirkan pemikiran bahwa pada dasarnya demokrasi yang melibatkan rakyat khususnya makna “dari rakyat” maka dalam berpartisipasi memberikan keputusan harus dilandasi dengan pertimbangan yang sebaik-baiknya tidak asal-asalan. Dalam hal ini keputusan setiap individu berpengaruh pada kebijakan yang akan diambil oleh negara, sehingga dalam hal ini masyarakat harus selektif dalam memilih keputusan terbaik khususnya yang sesuai dengan syariat Islam dan atau sama sekali tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist. Hal ini harus diperhatikan karena setiap tindak tanduk manusia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt.
Kedua, terkait dengan wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam bermusyawarah dan tugas-tugas lainnya. Artinya ketika berperan sebagai masyarakat atau yang memilih wakil rakyat maka pilihlah sosok yang berakhlk islam agar ketika bermusyawarah atau menjalankan tugas-tugas laiinya  tidak bertentangan dengan syariat Islam. kemudian dalam mengambil kebijakan dalam musyawarah pun tetapa mengambil keputusan yang sejalan dengan syariat Islam. Begitu pun ketika menjadi wakil rakyat, maka bertindaklah sesuai dengan syariat Islam yang dipancarkan dengan akhlak islami dalam mengamban berbagai tugas.
Ketiga, terkait dengan perlunya ditanamkan pendangan bahwa mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah. Artinya tidak terlalu panatik atau idealis bahwa kebenaran berada pada suara mayoritas. Hal ini sejalan dengan firman Alalh dalam Q.S An-Nisa ayat 59.
                                
Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S An-Nisa ayat 59).
Ayat ini menjelaskan bahwa sebagai orang beriman maka yang wajib ditaati adalah Allah dan Rasul. Sementara ulil amri ini ada yang boleh ditaati adapula yang tidak harus ditaati. Ketika ulil amri menjalankan hal tertentu sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist maka diperbolehkan untuk ditaati, namun ada suatu kondisi tidak harus taat kepada ulil amri yaitu saat keputusannya bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist. Adapun firman Allah dalam ayat lain terdapat dalam surat Al-Ahzab ayat 36.
         •             •     
Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata. (Q.S Al-Ahzab ayat 36).
Sama halnya dengan ayat sebelumnya bahwa pada ayat ini setiap mukmin harus taat terhadap ketetapan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menentang ketetapan tersebut atau tidak diperkenankan untuk lebih memilih ketetapan lain yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist.
Adapun keempat adalah komitmen terhadap Islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen. Artinya dalam hal ini sebagai rakyat harus mampu berperan dalam menentukan pejabat-pejabat tebaik yang bermoral Islam, begitupun ketika dalam suatu kondisi berperan sebagai pejabat yang duduk di parlemen, maka tunjukanlah kepantasan untuk berada di tempat tersebut melalui realisasi akhlak yang bermoral Islam.
Selain itu, salah satu sikap yang harus dimiliki masyarakat Indonesia pemeluk Islam adalah mampu meyakini dan menghayati serta mengaplikasikan berbagai hal sesuai dengan ajaran atau syariat Islam, sehingga ketika individu-individu tersebut bereran sebagai penyelenggaran demokrasi, hal tersebut tetap sejalan dengan syariat Islam.



















BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian bab sebelumnya penulis dapat mengemukakan kesimpulan sebagai berikut.
1. Demokrasi di negara Indonesia merupakan demokrasi yang tidak langsung atau dalam bentuk perwakilan. Hal ini dapat dilihat dari kandungan UUD 1945 dan Pancasila. Dalam hal ini pancasila menunjukan bahwa bangsa Indonesia menganut demokrasi yang tertera pada sila keempat yang dilandaskan pada sila pertama. Hal ini kemudian melahirkan pemahaman pancasila memadukan nilai-nilai spiritual dan duniawi, yakni sila pertama dengan sila ke lima yang dapat diwujudkan melalui sila keempat, sebagai salah satu bentuk demokrasi.
2. Demokrasi dalam pandangan Islam pada dasarnya tidak seluruhnya bertentangan dengan syariat Islam, dan di sisi lain juga tidak seluruhnya sejalan dengan syariat Islam. Sehingga dalam hal ini para rakyat Indonesia harus mampu memahami dan menghayati ajaran agamanya sehingga dapat dijadikan bekal untuk menjalankan demokrasi berlandaskan agama.
3. Sikap masyarakat khususnya muslim dalam menanggapi demokrasi Indonesia adalah mendukung dan bersama-sama mnecapai tujuan demokrasi dengan nilai-nilai islami atau islamisasi demokrasi.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis dapat mengemukakan saran sebagai berikut.
1. Warga negara Indonesia yang menganut agama Islam harus mampu memahami bahwa demokrasi ini tidak seluruhnya bertentangan dengan Islam dan tidak seluruhnya juga sejalan dengan islam. berawal dari pemahaman tersebut maka diharapkan sebagai salah satu pemeran dalam perwujudan demokrasi mampu bersikap dengan sebijak-bijaknya.
2. Warga negara Indonesia yang menganut agama Islam harus mampu meyakini, menghayati, dan menjalankan ajaran agama atau syariat islam. Sehingga ketika negara menggunakan bentuk pemerintahannya demokrasi, maka terselenggaranya demokrasi tersebut dilandasi dengan nilai-nilai islami.














DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Asy-Syawi, Taufik. (2009). Syura bukan Demokrasi. Jakarta: Gema Insani Press.
Darmawan, Cecep. (2009). Memahami Demokrasi Perspektif Teoretis dan Empiris. Bandung: Pustaka Aulia Press.
Hakim, Zaenal. (2012). Sejarah Demokrasi. Online. Tersedia: (http://www.zainalhakim.web.id/sejarah-demokrasi.html.
Huki, Luci. (2013). Sejarah Demokrasi. Online. Tersedia: (http://blogbelajar-pintar.blogspot.com/2013/09/sejarah-demokrasi.html).
Layar tekno. (2012). Memahami konsep islam tentang demokrasi. Online. Tersedia: (http://layartekno.blogspot.com/2012/11/memahami-konsep-islam-tentang-demokrasi.html).
Tim Penulis Dosen pendidikan Agama Islam Universitas Indonesia. (2009). Islam Tuntunan dan Pedoman Hidup. Bandung: Value Press.


2 komentar: