Laman

Rabu, 16 Maret 2016

HARTA DALAM PANDANGAN ISLAM

HARTA DALAM PANDANGAN ISLAM

MAKALAH


diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah Seminar Pendidikan Agama Islam

Dosen
Dra Hj. Titing Rohayati, M.Pd.






Oleh :
Afsah Sa’diah (1102453)

5B PGPAUD





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USI DINI
KAMPUS CIBIRU
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2013

KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. atas ridho-Nya penulis mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “ Harta dalam pandangan Islam ”. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Dasar Umum Seminar Pendidikan Agama Islam.
Harta adalah segala hal yang dapat dipakai untuk keperluan hidup dan kebutuhan. Baik itu harta dalam berebentuk uang atau harta dalam bentuk majas. Pada dasarnya harta yang kita miliki haruslah dari perkara yang halal dan disalurkan kepada yang halal pula. Dan harta merupakan titipan dari Allah swt, jangan dijadikan ajang pamer dan kesombongan karena akan bahaya.
Penulis berterima kasih kepada pihak yang telah membantu pembuatan makalah diantaranya :
1. Dra, Hj Titing Rohayati, M.Pd.,  selaku dosen mata kuliah Seminar Pendidikan Agama Islam yang telah membantu penulis  menyusun makalah in ;
2. Rekan - rekan kelas yang telah bersedia untuk melakukan diskusi dengan penulis;
3. Pihak pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu .
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik dalam penulisan maupun dalam isi makalah. Maka, saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat, umumnya bagi para pembaca dan khususnya bagi penulis. Amin.

Bandung, 20 November 2013

Penulis



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan Makalah 3
D. Manfaat Penulisan Makalah 3
E. Metode Penulisan Makalah 3
F. Sistematika Penulisan Makalah 3
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian harta
B. Kedudukan Harta dalam Islam
BAB III PEMBAHASAN
A. Metode Mendapatkan Dan Membelanjakkan Harta Yang Islami
B. Pengelolaan Harta Dalam Islam
C. Bahaya Harta Menurut Islam
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA









BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an menyebut kata al-mal (harta) tidak kurang dari 86 kali. Penyebutan berulang-ulang terhadap sesuatu di dalam al-Qur’an menunjukkan adanya perhatian khusus dan penting terhadap sesuatu itu. Harta merupakan bagian penting dari kehidupan yang tidak dipisahkan dan selalu diupayakan oleh manusia dalam kehidupannya terutama di dalam Islam. Islam memandang keinginan manusia untuk memperoleh, memiliki, dan memanfaatkan harta sebagai sesuatu yang lazim, dan urgen. Harta diperoleh, dimiliki, dan dimanfaatkan manusia untuk memenuhi hajat hidupnya, baik bersifat materi maupun non materi. Manusia berusaha sesuai dengan naluri dan kecenderungan untuk mendapatkan harta. Al-Qur’an memandang harta sebagai sarana bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Khaliq-Nya, bukan tujuan utama yang dicari dalam kehidupan. Dengan keberadaan harta, manusia diharapkan memiliki sikap derma yang memperkokoh sifat kemanusiannya. Jika sikap derma ini berkembang, maka akan mengantarkan manusia kepada derajat yang mulia, baik di sisi Tuhan maupun terhadap sesama manusia.
Selain itu kriteria harta menurut para ahli fiqih terdiri atas: pertama, memiliki unsur nilai ekonomis. Kedua, unsur manfaat atau jasa diperoleh dari suatu barang. Nilai ekonomis dan manfaat yang menjadi kriteria harta ditentukan berdasarkan urf (kebiasaan/adat) yang berlaku di masyarakat. As-Syuti berpendapat bahwa istilah Mal hanya untuk barang yang memiliki nilai ekonomis, dapat diperjualbelikan, dan dikenakan ganti rugi baik yang merusak maupun melenyapkannya.
Dengan demikian tempat bergantungnya status al-Mal terletak pada nilai ekonomis suatu barang berdasarkan urf. Besar kecilnya nilai ekonomis dalam harta tergantung pada besar kecilnya manfaat suatu barang. Faktor manfaat menjadi patokan dalam menetapkan nilai ekonomis ekonomis suatu barang. Maka manfaat suatu barang menjadi tujuan dari semua jenis harta. Oleh karena itu dalam makalah ini kita akan membahasan seberapa besar kedudukan harta dalam islam secara ekonomi.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka, kami mmerumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah Pengertian harta ?
2. Bagaimana Kedudukan Harta dalam Islam ?
3. Apa saja Metode Mendapatkan Dan Membelanjakkan Harta Yang Islami?
4. Bagaimana Pengelolaan Harta Dalam Islam?
5. Apa Bahaya Harta Menurut Islam?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Pengertian harta
2. Kedudukan Harta dalam Islam
3. Metode Mendapatkan Dan Membelanjakkan Harta Yang Islami
4. Pengelolaan Harta Dalam Islam
5. Bahaya Harta Menurut Islam
D. Manfaat Penulisan Makalah
Makalah yang kami buat diharapkan dapat memberi manfaat baik dari segi prosedur penulisan ataupun isi makalah ini, manfaat bagi :
1. Penulis, dapat menambah pengetahuan khususnya mempelajari tentang harta dalam pandangan islam.
2. Pembaca, dapat dijadikan inspirasi dari makalah penulis untuk bahan penambah pengetahuan mengenai hal tersebut.
E. Metode Penulisan Makalah
Metode penulisan makalah ini dengan menguraikan isi kajian dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang berbasis studi pustaka dan menganalisis dengan keadaan yang nyata atau sebenarnya.
F. Sistematika Penulisan Makalah
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan penulisan makalah
D. Manfaat penulisan makalah
E. Metode penulisan makalah
F. Sistematika penulisan makalah
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian harta
B. Kedudukan Harta dalam Islam
BAB III PEMBAHASAN
A. Metode Mendapatkan Dan Membelanjakkan Harta Yang Islami
B. Pengelolaan Harta Dalam Islam
C. Bahaya Harta Menurut Islam
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA













BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Harta
Pengertian harta (maal) dalam bahasa Arab ialah apa saja yang dimiliki manusia, sebagaimana Rasulullah bersabda dalam sebuah Hadits: “ Sebaik-baik maal ialah yang berada pada orang yang saleh.” (Bukhari dan Muslim). Harta itu lebih bermanfaat apabila berada di tangan orang-orang yang sholeh, karena orang yang sholeh pasti tahu hukum bagaimana seharusnya mempergunakan harta tersebut di jalan yang diridhoi Allah.
Ada beberapa pendapat tentang pengertian harta, diantaranya sebagai berikut:
Secara Istilah Madzhab Iman Hanafiyah “Harta adalah semua yang mungkin dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan”
Menurut Iman Hambali “Harta adalah apa – apa yang dimiliki manfaat yang mubah untuk suatu keperluan dan atau untuk kondisi darurat”
Menurut Iman Syafi’I “Harta yaitu barang – barang yang mempunyai nilai untuk dijual dan nilai harta itu akan terus ada kecuali kalau semua orang telah meninggalkannya (tidak berguna lagi bagi manusia)”
Menurut Ibnu Abidin “Harta adalah segala yang disukai nafsu atau jiwa dan bisa disimpan sampai waktu ia butuhkan”
Menurut cahyanai, http://bangbegs.wordpress.com/2010/06/02/konsep-harta-dalam-islam/
kata al mal dengan berbagai bentuknya disebut 87 kali yang terdapat dalam 79 ayat dalam 38 surat. Berdasarkan pengertian tersebut, harta meliputi segala sesuatu yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari (duniawi)[1], seperti uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikan-lautan, dan pakaian termasuk dalam katagori al amwal. Islam sebagai agama yang benar dan sempurna memandang harta tidak lebih dari sekedar anugerah Allah swt yang dititipkan kepada manusia.
Dari Pegertian diatas maka dapat disimpulkan harta adalah segala sesuatu yang dimiliki, dimanfaatkan dan untuk keperluan dan berharga apabila dijual disukai nafsu jiwa dan merupakan anugrah dari Allah swt. Islam memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan al-Qur’an, yakni dipertimbangkannya kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan hak miliki. Pandangan demikian, bermula dari landasan iman kepada Allah, dan bahwa Dia-lah pengatur segala hal dan kuasa atas segalanya Kalau harta seluruhnya adalah milik Allah, maka tangan mausia hanyalah tangan suruhan untuk jadi khalifah. Maksudnya manusia adalah khalifah – khalifah Allah dalam mempergunakan dan mengatur harta itu.
B. Kedudukan Harta dalam Islam
Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah milik Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya (QS al-Hadiid: 7). Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda:
”Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk dipergunakan”.
Status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut:
1. Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada (Al-Baqarah: 284)
Surat Al-Baqarah: 284 yang artinya berbunyi :
” Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada dibumi dan jika kamu melahirkan apa yang ada dalam htimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu ”.
2. Harta sebagai perhiasan perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Sebagai perhiasan hidup harta sering menyebabakan keangkuhan, kesombongan serta kebanggaan diri.
Surat Al-Imran: 14 yang  berbunyi :

” Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dab jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah lading, itulah kesenangan hidup didunia, dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
3. Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak (Al-Anfal: 28)
Surat Al-Anfal: 28 yang berbunyi :

“ Dan ketahuilah bahwa hartamudan anak-anakmu itu hanyalah cobaan dan sesungguhnya disisi Allah-lah pahala yang besar.”
4. Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah bagi  antar sesama manusia, melaui zakat, infak, dan sedekah (At-Taubah: 41, 60: Al Imran: 133-134)
Surat At-Taubah: 41 yang artinya berbunyi :
” Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan hartamu dan dirimu dijalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
5. Merupakan nikmat yang harus disyukuri Naluri manusia senang terhadap harta (Al-Fajr: 20 dan Al-Aadiyaat: 8) Surat Al-Fajr: 20 yang artinya berbunyi
” Doa kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” Surat Al-Aadiyaat: 8 yang artinya berbunyi :
” Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.”
6. Pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha atau mata pencarian yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya.


























BAB III
PEMBAHASAN
A. Metode mendapatkan dan membelanjakan harta yang islami
Orang islam diwajibkan berusaha (bekerja) mencari nafkah, firman Allah SWT, dalam Al-Quran surat Al-Jumu’ah: 10.
Surat Al-Jumu’ah: 10.yang artinya berbunyi :

“Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Dalam mencari harta dengan berusaha (bekerja), haruslah dengan cara baik dan halal. Dalam mencari, dilarang dengan cara-cara yang dapat :
1. Melupakan mati
2. Melupakan Dzikrillah
3. Melupakan sholat dan Zakat
4. Memusatkan kekayaan hanya pada kelompok orang kaya saja
5. Dalam mencarinya dilarang menempuh usaha yang haram, seperti, Riba, Judi, Curang, Mencuri, Jahat, Bathil, dan Dosa, Suap – menyuap (al-Ruswah)
Dalam membelanjakan harta, dilarang:
1) Diserahkan ke Sufaha
2) Tabdzir (boros)
3) Israf (berlebih – lebihan)
4) Bermewah-mewah
5) Kikir atau boros
Untuk itulah pada satu takaran tertentu harta dikenai wajib zakat. Zakat merupakan implementasi pemenuhan hak masyarakat dan upaya memberdayakan harta pada fungsi ekonomisnya.
Ringkasnya, aturan dalam memperoleh harta dan membelanjakan harta, didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Sirkulasi dan perputaran. Artinya harta memiliki fungsi ekonomis yang harus senantiasa diberdayakan agar aktifitas ekonomi berjalan sehat. Maka harta harus berputar dan bergerak di kalangan masyarakat baik dalam bentuk konsumsi atau investasi.sarana yang diterapkan oleh syari’at untuk merealisasikan prinsip ini adalah dengan larangan menumpuk harta, monopoli terutama pada kebutuhan pokok, larangan riba, berjudi, menipu.
2. Prinsip jauhi konflik. Artinya harta jangan sampai menjadi konflik antar sesama manusia. Untuk itu diperintahkan aturan dokumentasi, pencatatan/akuntansi, al-isyhad/saksi, jaminan (rahn/gadai).
3. Prinsip Keadilan. Prinsip keadilan dimaksudkan untuk meminimalisasi kesenjangan sosial yang ada akibat perbedaan kepemilikan harta secara individu. Terdapat dua metode untuk merealisasikan keadilan dalam harta yaitu perintah untuk zakat infak shadaqah, dan larangan terhadap penghamburan (Israf/mubazir)
B. Pengelolaan Harta Dalam Islam
1. Waqap
Secara etimologi, wakaf berasal dari “Waqf” yang berarti “al-Habs”. Merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu. Dalam pengertian hukum Islam wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang dapat bermanfaat dengan tanpa mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada perorangan atau kelompok (organisasi) agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak bertentangan dengan syari’at. Definisi wakaf menurut ahli fiqih adalah sebagai berikut:
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan. Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif. Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah. Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan.
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan. Itu menurut para ulama ahli fiqih.
Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, bantuan kepada fakir miskin.
Rukun wakaf ada empat, yaitu: pertama, orang yang berwakaf (al - wakif). Kedua, benda yang diwakafkan (al - mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al – mauquf ‘alaihi). Keempat, lafaz atau ikrar wakaf (sighah).
a. Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif)Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
b. Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindah milikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
c. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.
d. Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.
Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif. Harta benda wakaf terdiri dari benda tidak bergerak, dan benda bergerak. Wakaf benda tidak bergerak, yaitu Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku, baik yang sudah maupun yang belum terdaftar,  Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah, Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah, hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Tata cara perwakafan tanah milik secara berurutan dapat diuraikan sebagai berikut: Perorangan atau badan hukum yang mewakafkan tanah hak miliknya diharuskan datang sendiri dihadapan PPAIW untuk melaksanakan ikrar Wakaf, Calon wakif sebelum mengikrarkan wakaf, terlebih dahulu harus menyerahkan surat – surat (sertifikat, surat keterangan dll) kepada PPAIW, PPAIW meneliti surat dan syarat – syaratnya dalm memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah, Dihadapan PPAIW dan dua orang saksi, wakif mengikrarkan dengan jelas, tegas dan dalam bentuk tertulis. Apabila tidak dapat menghadap PPAIW maka dapat membuat ikrar secra tertulis dengan persetujuan dari kandepag,  PPAIW segera membuat akta ikrar wakaf dan mencatat dalam daftar akta ikrar wakaf dan menyimpannya bersama aktanya dengan baik.
2. Riba
a. Hukum Riba
Menurut pemahaman berbalik, hal itu menunjukan di perbolehkannya mengambil harta riba tersebut tanpa adanya taubat. Selain itu, di perbolehkannya mengambil keuntungan dari harta riba tersebut baik bertaubat maupun tidak.
b. Macam-macam Riba
1) Riba Qardh
2) Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan Tafsir Qurtuby.
3) Riba Fadhl
4) Riba Nasi’ah
c. Hikmah dilarangnya Riba
1) Untuk menutup pintu kejahatan,
2) Untuk menghindari dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang yang mana hal tersebut akan menimbulkan kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separuh masyarakat dunia.
3) Sebagai bentuk rasa syukur atas rizki yang diberikan oleh Allah SWT.
d. Perbandingan antara Riba dan Bank (Bunga Bank)
Riba
a. Semua tambahan modal pokok dalam semua transaksi.
b. Pelarangan riba dalam al-Qur’an bersifat progresif
c. Riba adalah suatu tambahan yang hanya terjadi dalam urusan pinjam-meminjam atau hutang-piutang.
d. Riba yang diharamkan yang berlipat ganda, menyusahkan dan memaksa. Riba yang memiliki sifat sebaliknya hukumnya halal.
Bunga
e. Termasuk riba yang haram hukumnya.
f. Seorang muslim dapat mengambil bunga bank untuk diserahkan kepada orang miskin. Mengembalikan bunga bank kepada bank sama dengan membesarkan dan memperkaya rentenir.
g. Menurutnya bunga bank adalah riba yang halal karena tidak bersifat memaksa, tidak beresiko tinggi), tidak berlipatganda, dan kebanyakan pinjaman bank untuk kegiatan produktif.
h. Seorang Muslim wajib mendirikan bank untuk mencegah praktek rentenir
3. Sadaqoh
Pengertian sedekah sesungguhnya memiliki ruang lingkup yang sangat luas, karena seperti disimpulkan dalam hadits Rasulullah saw. Setiap aktivitas yang mengandung nilai positif dalam pandangan Islam dapat disebut sebagai sedekah. Senyum juga sedekah.
Berjuta manfaat sedekah
1. Meringankan kesususahan orang lain
2. Mendapatkan pahala dari Allah swt, dan meredam atau mengurangi dosa yang telah lalu.
3. Menghindarkan manusia dari kematian yang su’ul khatimah (kematian dalam keadaan tidak beriman).
4. Menyucikan jiwa dan harta
5. memanjangkan umur karena Allah akan mengundurkan waktu kematian.
6. Sedekah dapat melipatgandakan harta
7. Allah melipatgandakan pahala orang yang bersedekah.
8. Terdapat pintu surga yang hanya dapat dimasuki oleh orang yang bersedekah.
9. Bukti keimanan seseorang.
10. Membebaskan dari siksa kubur.
11. Sedekah dapat mencegah pedagang melakukan maksiat dalam jual-beli.
12. Orang yang bersedekah merasakan dada yang lapang dan hati yang bahagia.
13. Orang yang bersedekah di bulan Ramadhan akan dilipatgandakan pahalanya 10 sampai 700 kali lipat karena sedekah adalah amal kebaikan.
14. Pahala sedekah akan lenyap bila pemberi selalu menyebut-nyebut sedekah yang telah diberikan atau menyakiti perasaan penerima.
15. Diampuninya dosa dengan sebab sedekah harus disertai taubat atas dosa yang dilakukan.
16. Tidak sebagaimana yang dilakukan sebagian orang yang sengaja bermaksiat, seperti korupsi, memakan riba, mencuri, berbuat curang, mengambil harta anak yatim, dan sebelum melakukan hal-hal ini ia sudah merencanakan untuk bersedekah setelahnya agar ‘impas’ tidak ada dosa.
4. Jual Beli
Jual beli Adalah proses pemindahan hak milik/barang atau harta kepada pihak lain dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya.
Menurut Wildadi (http:// hukum jual beli dalam islam . blog spot . com/2013/05/pengertian-dan-dasar-hukum-jual - beli.html), jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah. Menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :
a. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ : Jual beli adalah “ pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.”
b. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-mugni : Jual beli adalah “ pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.”
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian jual beli yaitu suatu kegiatan yang di dalamnya terdapat kegiatan tukar menukar barang dan juga terdapat perjanjian di dalamnya
Persyaratan barang yang boleh dan tidak di perbolehkan untuk di perjual belikan; yang boleh:
a. Barang yang diperjual belikan itu halal.
b. Barang itu ada manfaatnya
c. Barang itu ada ditempat, atau tidak ada tapi ada ditempat lain
d. Barang itu merupakab milik si penjual dibawah kekeuasaannya.
yang tidak boleh:
a. Barang yang dihukumkan najis oleh agama seperti anjing, babi, berhala, bangkai dan khamar.
b. Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya.
c. Jual beli dengan menjual buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen.
d. Jual beli secara lempar - melempar.
e. Jual beli yang samar sehingga kemungkinan adanya penipuan .
f. Larangan menjual makanan sehingga dua kali ditakar, hal ini menunjukkan kurang saling mempercayainya antara penjual dan pembeli.
Hikmah yang terkandung dalam kegiatan jual beli;
Allah mensyari’atkan jual beli sebagai penberian keluangan dan keleluasaan dari-NYA untuk hamba-hamba-NYA, yang  membawa hikmah bagi manusia diantaranya:
a. Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
b. Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan.
c. Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram atau secara bathil.
d. Penjual dan pembeli sama-sama mendapat rizki Allah
e. Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
Jual Beli itu merupakan bagian dari pada ta”awun (saling tolong menolong). Bagi pembeli menolong penjual yang membuuhkan uang, sedangkan bagi penjual juga berarti enolong pembeli yang sedang membutuhkan barang. Karenanya jual beli itu adalah perbuatan yang mulia dan pelakunya mendapatkan ridha dari Allah, bahkan Rasulullah menegaskan bahwa penjual yang jujur dan benar kelak diakhirat akan ditempatkan bersama para Nabi, syuhada dan orang-orang shaleh.
Akan tetapi lain halnya apabila didalam jual beli itu terdapat unsure kedzaliman, seperti berdusta, mengurangi takaran, dan lainnya. Maka tidak lagi bernilai ibadah, tetapi sebaliknya yaitu perbuatan dosa. Untu menjadi pedagang yang jujur itu sangat berat, tetapi harus disadari bahwa kecurangan dan kebohongan itu tidak ada gunanya. Jadi usaha yang baik dan jujur itulah yang paling menyenangkan yang nantinya akan mendatangkan keberuntungan, kebahagiaan dan sekaligus Ridha Allah.
Khiyar dalam kegiatan jual beli.
Secara etimologi, khiyar berarti pilihan atau memilih yang terbaik.Secara terminologi, khiyar ialah mencari kebaikan dari dua perkara yaitu memilih antara melangsungkan atau membatalkan (jual beli) supaya tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.
Macam Macam Khiyar
1. Khiyar Majlis
Adalah hak memilih bagi penjual dan pembeli untuk meneruskan atau membatalkan akad selama masih berada di tempat akad dan kedua belah pihak belum berpisah.
 2. Khiyar Syarat
 Khiyar syarat yaitu hak memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya dengan syarat tertentu
3. Khiyar’Aib
Khiyar ’aib yaitu hak memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya yang disebabkan karena adanya cacat pada barang yang dijual.
5. Hutang
Hukum Berutang
Utang menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah uang yg dipinjam dr orang lain atau kewajiban membayar kembali apa yg sudah diterima Dalam Islam, tentunya muamalah utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan atau Jaa-iz. Dan ini masuk dalam bab at-ta’awun alal birri wat taqwa (التعاون على البر والتقوى) yaitu saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan. Berdasarkan hal tersebut maka semboyah utang-piutang itu harus ta’awun (saling tolong menolong), bukan membinasakan–mengeruk keuntungan.Namun, walaupun utang itu dibolehkan, sebaiknya seorang muslim hendaklah menghindarinya, karena utang itu dapat mendatangkan kehinaan dan menjadi sebab terhalangnya seorang hamba masuk surga, bahkan bisa menjadi sebab terjerumusnya ia ke dalam neraka.
Dampak kebiasaan berutang
Rasulullah saw. sangat takut berutang dan sangat takut jika hal tersebut menjadi kebiasaannya. Seperti yang Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. bahwasanya dia mengabarkan, “Dulu Rasulullah saw. sering berdoa di shalatnya:
 “Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari azab kubur, dari fitnah Al-Masiih Ad-Dajjaal dan dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari hal-hal yang menyebabkan dosa dan dari berutang“
Kemudian, berkatalah seseorang kepada beliau:
 “Betapa sering engkau berlindung dari utang?”
Beliau pun menjawab:
 “Sesungguhnya seseorang yang (biasa) berutang, jika dia berbicara maka dia berdusta, jika dia berjanji maka dia mengingkarinya” (HR Al-Bukhaari dan Muslim )
Perlu dipahami bahwa berutang bukanlah suatu perbuatan dosa sebagaimana telah disebutkan. Tetapi, seseorang yang terbiasa berutang bisa saja mengantarkannya kepada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah saw.
Anjuran Islami dalam Utang Piutang
Terdapat beberapa anjuran dalam islam tentang utang piutang ini, diantaranya:
1. Memberi Jaminan Ketika Berutang
2. keutamaan/fadhilah bagi pemberi utang
keutamaan/fadhilah bagi pemberi utang (https: //www. facebook. com/notes/kata-kata- hikmah / hutang - dalam islam / 10151225035500849) diantaranya:
a. Siapa yang memberi pinjaman atas kesusahan orang lain, maka dia ditempatkan di bawah naungan singgasana Allah pada hari kiamat. (HR. Thabrani, Ibnu Majah, Baihaqi)
b. Barangsiapa meminjamkan (harta) kepada orang lain, maka pahala shadaqah akan terus mengalir kepadanya setiap hari dengan jumlah sebanyak yang dipinjamkan, sampai pinjaman tersebut dikembalikan. (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah).
c. Dua kali memberikan pinjaman, sama derajatnya dengan sekali bershadaqah. (HR. Bukhari, Muslim, Thabrani, Baihaqi).
3. Menghindari Utang

Adab Islami dalam Utang Piutang
Beberapa adab umum (https://www.facebook.com/notes/kata-kata-hikmah/hutang-dalam-islam/10151225035500849) dalam kaitannya dengan utang piutang ini adalah sebagai berikut:
1. Agama membolehkan adanya utang-piutang, untuk tujuan kebaikan.
2. Pembayaran tidak boleh melebihi jumlah pinjaman.
3. Jangan ada syarat lain dalam utang-piutang kecuali (waktu) pembayarannya. (HR. Ahmad, Nasa’i).
Adapun Adab untuk pemberi utang(https://www.facebook.com/notes/kata-kata-hikmah/hutang-dalam-islam/10151225035500849) adalah sebagai berikut:
1. Sebaiknya memberi tempo pembayaran kepada yang meminjam agar ada kemudahan untuk membayar. (HR. Muslim, Ahmad).
2. Jangan menagih sebelum waktu pembayaran yang sudah ditentukan. (HR. Ahmad)
3. Hendaknya menagih dengan sikap yang lembut penuh maaf. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi).
4. Boleh menyuruh orang lain untuk menagih utang, tetapi terlebih dahulu diberi nasihat agar bersikap baik, lembut dan penuh pemaaf kepada orang yang akan ditagih. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Hakim).
Dan adab bagi pengutang itu sendiri adalah (https://www.facebook.com/notes/kata-kata-hikmah/hutang-dalam-islam/10151225035500849):
1. Sebaik-baik orang adalah yang mudah dalam membayar utang (tidak menunda-nunda). (HR. Bukhari, Nasa’i, Ibnu Majah, Tirmidzi).
2. Yang berutang hendaknya berniat sungguh-sungguh untuk membayar. (HR. Bukhari, Muslim).
3. Menunda-nunda utang padahal mampu adalah kezaliman. (HR. Thabrani, Abu Dawud).
3. Barangsiapa menunda-nunda pembayaran utang, padahal ia mampu membayarnya, maka bertambah satu dosa baginya setiap hari. (HR. Baihaqi).
4. Bagi yang memiliki utang dan ia belum mampu membayarnya, dianjurkan banyak-banyak berdoa kepada Allah agar dibebaskan dari utang, serta banyak-banyak membaca surat Ali Imran ayat 26. (HR. Baihaqi)
5. Disunnahkan agar segera mengucapkan tahmid (Alhamdulillah) setelah dapat membayar utang. (HR Bukhari, Muslim, Nasa’i, Ahmad).
6. Zakat
Zakat berasal dari bahasa Arab “az-zakah”. “az-zakah” adalah masdar dari fi’il madli “zaka”, yang berarti bertambah, tumbuh dan berkembang. Zakat juga bermakna suci. (http://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2013/04/makalah-zakat-definisi-sejarah-hukum.html) dengan makna ini Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat As-Syams:9
 
Artinya: “Sungguh beruntung orang yang mensucikan hati”. (QS. As-Syams: 9)
Menurut (Miftah Faridl:40) Zakat merupakan tolak ukur keimanan kita kepada Allah Swt. zakat adlaah penyempurnaan ibadah shalat yang manusia lakukan. Tidak sempurna shalat yang kita lakukan tanpa menunaikan zakat. seperti Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 110.

Artinya : “Dan laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkan (pahala) di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Baqarah, 2:110)
Hukum Mengeluarkan Zakat
Hukum zakat sendiri ialah fardhu’ain bagi setiap muslimin yang memiliki kemampuan untuk menunaikannya, sebagai salah satu dari lima rukun Islam. Bahkan dalam Al-Qur’an, perintah Allah untuk mengeluarkan zakat sama dengan perintah Allah untuk mendirikan shalat. Karena begitu pentingnya peranan zakat bagi setiap muslim yang mampu Allah selalu menggandengkan zakat dan shalat sebagai tiang utama dalam agama. Zakat telah difardukan diMadinah pada bulan Syawal tahun kedua hijrah setelah kepada ummat islam diwajibkan berpuasa ramadhan Sedikitnya ada 28 ayat dalam Al-Qur’an yang menjadi Dasar-dasar atau landasan kewajiban mengeluarkan zakat disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an antara lain :
Al Qur’an Surat Al Baqarah; 43

Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku”
Orang-orang yang berhak menerima zakat
Adapun orang-orang yang berhak menerima zakat adalah:
1. Fakir yaitu orang yang tidak mempunyai harta dan usaha, atau yang mempunya harta atau usaha tetapi penghasilannya jauh dari mencukupi kebutuhan.
2. Miskin yaitu orang yang mempunyai harta atau usaha sebanyak kebutuhan atau lebih , tetapi tidak sampai mencukupi.
3. Amil yaitu semua orang yang bekerja mengurus zakat, sedangkan dia tidak mendapat upah selain dari zakat itu.
4. Muallafah yaitu orang kafir yang sudah masuk Islam dan imannya masih lemah, ia diberi zakat dengan harapan agar imannya bertambah kuat.
5. Fir Riqab yaitu orang yang memerdekakan budak yaitu yang dijanjikan oleh tuannya akan dimerdekakan apabila telah dapat mengumpulkan uang yang telah disepakati. Untuk di Indonesia sendiri karena tidak ada budak maka “ashnaf memerdekakan budak” gugur dengan sendirinya.
6. Gharim atau orang yang berhutang.
7. Fi Sabilillah. Arti sabilillah disini ialah orang yang ikut perang sabil, yaitu perang untuk meninggikan agama Allah, sedangkan mereka tidak mendapatkan gaji pemerintah
8. Ibnu Sabil atau orang yang sedang dalam perjalanan

.
7. Hibah
           ....
“Dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak orang miskin, musyafir (yang memerlukan pertolongan),dan orang orang yang meminta”.... (QS. Al – Baqarah : 177).
Hibah merupakan suatu perbuatan yang terpuji, karena memberikan harta dengan sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa ada kontrak dari pihak penerima pemberian, seperti mengharapkan balasan, tidak tergantung serta tidak disertai dengan persyaratan apapun dan pemberian itu dilangsungkan pada saat pemberi masih hidup. Sedangkan hadiah merupakan pemberian sesuatu seutuhnya yang berupa zat dan manfaatnya kepada seseorang dengan maksud untuk memuliakan atau memberikan penghargaan dan shadaqoh yang dalam kehidupan sehari-hari disebut sedekah, dalam pelaksanaan bershadaqah haruslah dengan niat yang ikhlas, jangan ada niat ingin dipuji atau dianggap dermawan dan jangan menyebut-nyebut shadaqah yang sudah dikeluarkan apalagi menyakiti hati si penerima. Sebab yang demikian itu dapat menghapuskan pahala shadaqah. Pelaksanaan hibah dalam ajaran Islam tidak bisa sembarangan, terdapat ketentuan-ketentuan yang tidak boleh diabaikan oleh kaum muslimin. Seperti halnya amalan-amalan yang lain, maka tidaklah sah suatu amal perbuatan tanpa terpenuhinya rukun dan syarat hibah. Adapun rukun hibah menurut Al-Jaziri adalah sebagai berikut :
Rukun Hibah
Rukun dalam kitab al-Syarḥ al-Ṣaġīr ada 4 (empat), diantaranya:
1) Pemberi Hibah (Al-Wāhib)
2) Harta yang Dihibahkan (Al-Mauhub)
3) Penerima Hibah (Al-Mauhub Lah)
4) Siġat (Ijab – Qabul)
Syarat Hibah
Setelah terpenuhinya semua rukun hibah, maka masing-masing dari rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu:
a) Pemberi Hibah (Al-Wahib), baligh, tidak terpaksa, keinginan sendiri, dan merupakan pemilik barang.
b) Bagi Penerima Hibah (Al-Mauhub Lah), diketahui keberadaannya saat pemberian hibah.
c) Harta yang Dihibahkan (Al-Mauhub), dapat dimiliki, dan jelas dzatnya.
d) Siġat (Ijab – Qabul)
8. Syirkah
Syirkah adalah bentuk organisasi bisnis antara dua orang atau lebih untuk menjalankan suatu usaha yang sesuai dengan ketentuan Syaria’t Islam. Bentuk kerja sama yang dilakukan oleh seseorang dibagi kedalam dua bentuk yaitu syirkah amlak dan syirkah uqud.
1. Syirkah amlak adalah suatu harta yang dimiliki secara bersama-sama, melalui jalan hibah, warisan atau dibeli dengan kesepakatan bersama.
2. Syirkah uqud adalah suatu kerja sama antara dua orang atau lebih karena keduanya bersepakat dalam perjanjian yang sesuai dengan kontrak untuk menginvestasikan sesuatu hal dan berbagi keuntungan dan kerugian bersama-sama.
Syirkah uqud dibagi kedalam beberapa bagian, yaitu sebagai brikut.
a. Syirkah inan
b. Syirkah abdan
c. Syirkah mudharabah
d. Syirkah wujuh
e. Syirkah mufawadhah
Etika dalam Kerja Sama atau Syirkah
Islam mengajarkan manusia untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah swt. supaya dapat terhindar dari perilaku-perilaku yang dapat merusak diri dan jiwanya. Dalam hal ini Islam sebagai agama yang paling sempurna telah memberikan ramu-rambu dalam melakukan transaksi dalam dunia usaha atau perdagangan. Sebagai seorang muslim haruslah tetap berada pada jalur rambu-rambu tersebut yaitu dengan meneladani contoh Rasulullah saw. dalam menjalankan suatu usaha atau berbisnis.
1. Kejujuran
2. Keadilan.
3. Amanah
4. Nasihat-menasihati; misalnya dalam konteks jual beli
5. Barang yang dijual harus halal dalam hal zat dann cara memperolehnya.
6. Tidak ada unsur penipuan.
C. Bahaya harta
Tergantung sifat dan perbuatan kita terhadapnya:
1. Lebih banyak harta, lebih keras hisabnya
Nabi SAW bersabda, ”Harta sebagai kenikmatan yang akan dimintai pertanggungan jawabnya.” (Tirmidzi, Ibnu Majah) Allah SWT berfirman, ”Kemudian pasti kamu akan ditanya tentang semua nikmat yang telah kamu rasakan di dunia.” (At-Takatsur:8) Sabda Nabi SAW, ”Halalnya dunia itu hisab dan haramnya itu adzab.” (Ibnu Abidunya)
2. Timbul penyakit cinta dunia dan melalaikan Akherat
Sabda Nabi SAW, ”Kemanisan dunia adalah kepahitan akherat. Dan pahitnya dunia adalah manisnya akherat.” (Thabrani, Baihaqi, Hakim) Sabda Nabi SAW lainnya, ”Cinta dunia adalah induk segala kesalahan.” (Baihaqi) Pada hakikatnya semua harta yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. Sebagaimana dalam firmanNya :
Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. ( Q.S Al Baqarah 284 )
Orang – orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia(biasa) diantara orang-orang yang diciptakan-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu). ( Q.S Al – Maidah : 18 )
Orang – orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.( Q.S Al Baqarah : 120 )


























BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Harta dapat diartikan apa saja yang dimiliki manusia. Secara kedudukan harta memiliki enam pokok diantaranya : pemiliki mutlak dari seluruh kekayaan adalah Allah SWT, status harta yang ada pada manusia, naluri manusia senang terhadap harta, pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha atau mata pencarian yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya, dilarang mencari harta dengan berusaha atau bekerja yang melupakan mati, dilarang menempuh usaha yang haram.
Kedudukan Harta dalam Islam. Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah milik Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya (QS al-Hadiid: 7).
Status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT, Harta sebagai perhiasan perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan, Harta sebagai ujian keimanan. Harta sebagai bekal ibadah, Merupakan nikmat yang harus disyukuri Naluri manusia senang terhadap harta, Pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha atau mata pencarian yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya,
Metode mendapatkan dan membelanjakan harta yang islami Dalam mencari harta dengan berusaha (bekerja), haruslah dengan cara baik dan halal. Dalam mencari, dilarang dengan cara-cara yang dapat, Melupakan mati, Melupakan Dzikrillah, Melupakan sholat dan Zakat, Memusatkan kekayaan hanya pada kelompok orang kaya saja, Dalam mencarinya dilarang menempuh usaha yang haram, seperti, Riba, Judi, Curang, Mencuri, Jahat, Bathil, dan Dosa, Suap – menyuap (al-Ruswah). Dalam membelanjakan harta, dilarang, Diserahkan ke Sufah, Tabdzir (boros), Israf (berlebih – lebihan), Bermewah-mewah, Kikir atau boros
Aturan dalam memperoleh harta dan membelanjakan harta, didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut, Prinsip Sirkulasi dan perputaran, Prinsip jauhi konflik dan Prinsip Keadilan.
Sumber mendapatkan harta dapat disebutkan yang terpenting, Waqap, Riba, Sadaqoh, Jual Beli , Hutang, Zakat, Hibah , Syirkah. Bahaya harta Lebih banyak harta, lebih keras hisabnya dan Timbul penyakit cinta dunia dan melalaikan Akherat
B. Saran
a. Kita sebagai umat muslim, haruslah mencari harta dan mengeluarkannya sebaik mungkin dan sesuai ketentuan ajaran Islam
b. Jangan rakus dalam harta karena itu adalah titipan.




















DAFTAR PUSTAKA

Munir, Abdul, Harta Dalam Perspektif Al Quran, Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,      2006

At-Thariqi, Abdullah Abdul Husain, Ekonomi Islam, Prinsip Dasar dan Tujuan, Magistra   Insani Press, 2004

Fadhil, M. Mustaqim. 2013. Buku Ajar Pokok-pokok Materi Al-Islam 2. Surabaya: UMSurabaya Press

febrianakurniadisari. (2013). Makalah Kedudukan Harta Dalam Islam. (online). http://febrianakurniadisari.wordpress.com/2013/06/11/makalah-kedudukan-harta-dalam-islam/ (27 november 2013)

cahyani. (2010). Konsep harta alam islam. (online) http://bangbegs.wordpress.com/2010/06/02/konsep-harta-dalam-islam/ 29 november 2013

Tim dosen pendidikan agama islam. (2009), Islam tuntunan dan pedoman hidup. Bandung:Value Press

Muhammad Taufiq [2013] dipostkan oleh http://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2013/04/makalah-zakat-definisi-sejarah-hukum.html

Faridl, Miftah. (2009). Ibadah Muslim Kosmopolitan. Bandung: Sygma Publishing

Hasanuzaman.(2013). Pengertian ekonomi Islam.[online]. tersedia (http://fahmyzone.blogspot.com/2013/04/pengertian-ekonomi-islam.html)

Yusanto dan Wijajakusuma. 2003. Menggags Bisnis Islami. Jakarta: Gema Insani)
 Anwar. (2011). Makalah Syirkah. [online]. Tersedia  (http://www.blogbersamakhairulanwar/2011/28/makalahsyirkah.html)

Tim Dosen Pendidikan Agama Islam. 2009. Islam dan Tuntunan Dan Pedoman Hidup. Bandung: Value Press.

DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Seminar Pendidikan Agama Islam

Dosen
Dra. Hj. Titing Rohayati, M. Pd.








Oleh:





oleh :









Oleh
Iin Muharomah 1102452

V B PG-PAUD



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
KAMPUS CIBIRU
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. yang telah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan makalah yang berjudul  “Demokrasi dalam Perspektif Islam.” Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Seminar Pendidikan Agama Islam.
Islam merupakan agama yang sempurna, salah satunya ditandai dengan sistemnya yang komprehensif. Artinya tidak ada satu perkara pun dalam hidup ini terlepas dari perhatian agama islam. Begitupun perkara yang berkaitan dengan kehidupan berorganisasi dalam negara dan juga kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya bentuk pemerintahan dalam islam diatur dalam Al-Qur’an dan Hadist. Adapun salah satu bentuk pemerintahan yang banyak dianut oleh berbagai negara termasuk Indonesia adalah demokrasi. Namun demikian bahwa sistem ini tidak sepenuhnya sejalan dengan islam dan tidak sepenuhnya menentang islam. Lalu bagaimana kah demokrasi di Indonesia? bagaimana demokrasi dalam perspektif islam? dan bagaimana cara masyarakat menyikapi demokrasi di Indonesia? Pertanyaan inilah yang akan menjadi fokus makalah yang disusun penulis. Semoga dengan uraian yang komprehensif ini, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai demokrasi dalam perspektif islam.
Penulis menyadari bahwa selama penulisan makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak yang tidak bisa penulis sebut satu persatu. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga Allah swt. memberikan balasan yang berlipat ganda.
Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki banyak kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.

Bandung, 20 November 2013
   

Penulis


















DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penulisan Makalah 3
D. Manfaat Penulisan Makalah 3
E. Metode Penulisan Makalah 3
F. Sistematika Penulisan Makalah 3
BAB II KAJIAN TEORI 4
A. Konsep Demokrasi 4
B. Prinsip-prinsip Bentuk Pemerintahan dalam Islam 6
BAB III PEMBAHASAN 10
A. Demokrasi di Indonesia 10
B. Demokrasi dalam Perspektif Islam 12
C. Masyarakat dalam Menyikapi Demokrasi Indonesia 15
BAB IV PENUTUP 19
A. Kesimpulan 19
B. Saran 19
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang sempurna, salah satunya ditandai dengan sistemnya yang komprehensif. Artinya tidak ada satu perkara pun dalam hidup ini terlepas dari perhatian agama islam. Begitupun perkara yang berkaitan dengan kehidupan berorganisasi dalam negara dan juga kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya bentuk pemerintahan dalam islam diatur dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Salah satu bentuk pemerintahan yang banyak dianut oleh berbagai negara termasuk Indonesia adalah demokrasi. Hal ini sedikit memberikan gambaran bahwa demokrasi ini bentuk pemerintahan yang baik. Bahkan tidak jarang juga orang berpendapat bahwa apabila demokrasi dalam sebuah negara ini benar-benar dijalankan, maka bisa jadi negaranya teratur dengan baik, sejahtera, dan sesuai yang diharapkan.
Adapun yang dimaksud dengan demokrasi merupakan salah satu bentuk pemerintahan yang menekankan kedaulatan berada di tangan rakyat. Lebih lanjut dalam hal ini rakyat berpartisipasi atau memberikan aspirasi dalam merencanakan program pembangunan, rakyat terlibat dalam melaksankan program pembangunan, dan rakyat juga dijadikan tujuan dengan program pembangunan yang telah dijalankan.
Lebih lanjut, apabila dikaitkan dengan islam, demokrasi ini seringkali identik dengan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan atau dikenal dengan istilah syura. Syura ini merupakan salah satu hal yang wajib dilakukan ketikan akan memecahkan permasalahan dalam upaya mencapai tujuan bersama. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah dalam Q.S As-Syuro ayat 38.
             
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
Berdasarkan ayat tersebut menunjukan bahwa ketika akan memutuskan suatu perkara atau urusan dapat dilakukan dengan musyawarah (syura). Begitu pun dalam demokrasi, hal ini merupakan salah satu esensi yang terkandung di dalamnya yaitu terkait adanya partisipasi rakyat dalam merencanakan dan menjalankan program pembangunan dalam kehidupan bernegara, hal ini dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk musyawarah. Namun demikian bahwa hal ini sangat perlu dikaji lebih lanjut.
Adapun dalam terkait demokrasi ini awal mulanya bukan berasal dari Islam, sehingga wajar apabila demokrasi tidak seluruhnya sejalan dengan syariat Islam, walaupun demikian berdasarkan uraian di atas memang tidak seluruhnya juga menentang syariat islam. sehingga dalam hal ini perlu kiranya disusun sebuah makalah yang mampu menambah wawasan dan pemahaman terkait dengan demokrasi dalam perspektif islam. Adapun dalam hal ini penulis menyusun sebuah makalah yang berjudul “Demokrasi dalam Perspektif Islam.”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana demokrasi di Indonesia?
2. Bagaimana demokrasi dalam perspektif Islam?
3. Bagaimana masyarakat menyikapi demokrasi di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan Makalah
Sejalan dengan rumusan masalah di atas maka penulis menentukan tujuan penulisan makalah sebagai jalan untuk  mengetahui dan mendeskripsikan:
1. Demokrasi di Indonesia;
2. Demokrasi dalam perspektif Islam;
3. Masyarakat menyikapi demokrasi di Indonesia.

D. Manfaat Penulisan Makalah
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan, baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai pengetahuan mengenai demokrasi dalam perspektif Islam, secara praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi :
1. penulis, sebagai penambah pengetahuan mengenai demokrasi dalam perspektif Islam.
2. pembaca, sebagai media informasi mengenai demokrasi dalam perspektif Islam.

E. Metode Penulisan Makalah
Makalah ini disusun dengan menggunakan metode deskriptif. Artinya melalui metode ini penulis akan menguraikan permasalahan yang dibahas secara jelas dan komprehensif. Data teoritis dalam makalah ini dikumpulkan malalui studi pustaka, artinya penulis mengambil data melalui kegiatan membaca berbagai literatur yang relevan dengan tema makalah. Data tersebut diolah dengan teknik analis isi melalui kegiatan mengeksposisiskan data serta mengaplikasikan data tersebut dalam konteks tema makalah.

F. Sistematika Penulisan Makalah
Kata Pengantar, Daftar Isi, Bab I Pendahuluan (Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan Makalah, Manfaat Penulisan Makalah, Metode Penulisan Makalah, Sistematika Penulisan Makalah), Bab II Kajian Teori (Konsep Demokrasi dan Prinsip-prinsip Bentuk Pemerintahan dalam Islam), Bab III Pembahasan (Demokrasi di Indonesia, Demokrasi dalam perspektif Islam, dan Masyarakat menyikapi demokrasi di Indonesia), Bab IV Penutup (Kesimpulan, Saran).

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Konsep Demokrasi
1. Pengertian Demokrasi
Demokrasi merupakan salah satu bentuk pemerintahan yang banyak digunakan oleh berbagai negara termasuk Indonesia. Adapun secara etimologi, demokrasi berasal dari bahasa Yunanni, yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “kratos atau kratein” yang berarti kekuasaan atau berkuasa, sehingga dapat dikatakan bahwa demokrasi ini adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan atau kedaulatannya berada di tangan rakyat. Lebih lanjut berikut disajikan beberapa pengertian demokrasi menurut para ahli.
Abraham Lincoln (Darmawan, 2009: 1) menyatakan bahwa demokrasi adalah “the goverment from the people, by the people, and for the people” yang artinya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.  Artinya rakyat berperan sebagai perencana dan pelaksana kebijakan atau program pembangunan negara, dan melalui kebijakan atau program pembangunan negara yang dijalankan tersebut bertujuan untuk mensejahterakan rakyat.
Sejalan dengan pendapat Hook (Darmawan, 2009: 1) yang menyatakan bahwa “demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung, didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas oleh rakyat dewasa.” Artinya keputusan-keputusan ditentukan oleh suara mayoritas dari raktat dewasa.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang memandang bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Dalam hal ini rakyat sangat berpengaruh terhadap pemutusan kebijakan dan pelaksana kebijakan serta dijadikan sebagai tujuan kebijakan.
2. Sejarah Munculnya Demokrasi
Berdasarkan uraian sebelumnya demokrasi ini secara etimologi berasal dari bahasa Yunani. Adapun di sisi lain, dalam hal ini di lain pihak islam hadir lebih dahulu dari pada Yunani. Namun demikian istilah demokrasi ini tidak dikenal dalam islam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa demokrasi ini tidak berawal dari islam. Adapun Huki (http://blogbelajar-pintar.blogspot.com/2013/09/sejarah-demokrasi.html) menyatakan bahwa
demokrasi sebagai sistem pemerintahan, dalam bentuk klasik sudah digunakan sejak zaman Yunani Kuno (kurang lebih abad V SM). Pada masa itu, Yunani dengan Negara kotanya (polis) telah mempraktekkan pemerintahan dengan partisipasi langsung rakyat dalam membicarakan persoalan pemerintah (demokrasi langsung).
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa negara yang pertama kali menggunakan demokrasi adalah di Yunani tepatnya di Athena. Dalam hal ini demokrasi yang dijalankan adalah dengan partisipasi langsung para warga negara atau tidak diwakilkan. Hal ini dapat dilakukan karena jumlah warga megaranya pun tidak terlalu banyak. Partisipasi tersebut akan menghasilkan kebijakan. Dalam hal ini suara mayoritas merupakan penentu untuk memutuskan sebuah kebijakan.
Setelah meluasnya wilayah negara, maka jumlah penduduk pun semakin luas. Pada tahap ini terjadi tansformasi budaya demokrasi dari demokrasi langsung ke sistem demokrasi perwakilan.
Dalam perkembangannya demokrasi semakin dikembangkan khususnya didunia Barat, hal ini sesuai dengan pendapat Hakim (http://www.zainalhakim.web.id/sejarah-demokrasi.html) yang menyatakan bahwa
sepanjang abad ke 17 dan 18 di Eropa Barat, diantaranya telah melahirkan sistem demokrasi di dalam tata bermasyarakat dan berpemerintahan. Sebenarnya yang terjadi di Eropa ketika demokrasi menjadi alternatif adalah penerusan dari suatu tradisi tentang tata cara pengaturan hidup bersama yang dilaksanakan oleh warga kota Athena, Yunani, pada beberapa abad sebelum masehi. Sejak tiga dekade terakhir dunia menyaksikan kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan demokrasi. Sejak tahun 1972 jumlah negara yang mengadopsi sistem politik demokrasi telah meningkat lebih dari dua kali lipat, dari 44 menjadi 107. Pada akhir tahun 90-an, hampir seluruh negara di dunia ini mengadopsi pemerintahan demokratis, meski masing-masing dengan variasi sistem politik tertentu.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimplukan bahwa demokrasi ini pada mulanya bukan berasal dari islma, tetapi lahir di kota Athena Yunani yang dalam perkembangannya dikembangkan oleh Eropa Barat. Hingga pada akhirnya  Indonesia pada saat ini bentuk pemerintahannya adalah menggunakan demokrasi.
3. Prinsip-prinsip Demokrasi
Seperti halnya dalam penyelenggaraan sesuatu bahwa agar dapat dijalankan secara ideal, tentunya alangkah lebih terarah apabila berpatokan pada prinsip-prinsip. Adapun terkait demokrasi yang merupakan salah satu bentuk pemerintahan, agar dalam penyelanggaraannya dapat dijalankan secara ideal maka perlu adanya prinsip yang dijadikan patokan. Adapun prinsip-prinsip demokrasi menurut Alamudi (Darmawan, 2009: 2), adalah sebagai berikut.
a. Kedaulatan rakyat.
b. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah.
c. Kekuasaan mayoritas.
d. Hak-hak minoritas.
e. Jaminan hak asasi manusia.
f. Pemilihan yang bebas dan jujur.
g. Persamaan di depan hukum.
h. Proses hukum yang wajar.
i. Pembatasan pemerintahan secara konstitusional.
j. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik.
k. Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Melalui memperhatikan berbagai prinsip tersebut diharapkan dalam penyelenggaraannya demokrasi ini lebih terarah sehingga cita-cita demokrasi yang ingin dicapai akan mudah dicapai secara ideal.

B. Prinsip-prinsip Bentuk Pemerintahan dalam Islam
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa demokrasi bukanlah lah berasal dari islam. Adapun di sisi lain pada dasarnya Islam merupakan agama yang sempurna dan komprehensif. Artinya tidak ada satu aspek kehidupan pun yang tidak diatur dalam islam termasuk hal yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Jalannya sebuah kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak terlepas dari sebuah bentuk negara atau sistem pemerintahan yang diambil. Adapun dalam islam pun hal ini diatur dan tentunya disajikan dalam Al-Qur’an dan Hadist. Begitupun berbagai prinsip bentuk pemerintahan dalam islam ini merupakan ciri-ciri kepemimpinan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, hal ini dapat dilihat dari firman Allah dan sebagai berikut.
             
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.(Q. S. Asy-Syura: 38)
Dari ayat tersebut, yang perlu digarisbawahi adalah pentingnya memutuskan suatu perkaran melalui musyawarah atau dalam islam dikenal dengan istilah syura. Termasuk dalam hal kebijakan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Adanya syura ini juga diharapkan masyarakat diberikan kebebasan (al-hurriyyah) untuk menyampaikan pendapatnya, selama tidak bertentengan dengan Al-Qur’an dan Hadist. Adapun prinsip lain yang harus diperhatikan diantaranya Al-Adalah atau keadilan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Maidah ayat 8.
          •            •          
Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Maidah ayat 8)
Ayat tersebut menjelaskan terkait dengan pentingnya sebuah keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, pemerintah senantiasa tidak membedakan antara satu kaum dengan yang lainnya. Selanjutnya prinsip yang harus diperhatikan juga adalah al-musawah yang artinya kesejajaran. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13.
 ••           •      •      
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Al-Hujurat ayat 13)
Dari ayat ini menjelaslan bahwa setiap manusia itu dalam keadaaan setara baik dilihat dari jenis kelamin maupun suku yang berbeda. Adapun yang membedakan adalah ketakwaaanya. Dalam hal ini berarti bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, islam mengajarkan pentingnya menyetarakan para warga negaranya, tidak ada pihak, suku ataupun kelompok tertentu yang diistimewakan. Selanjutnya prinsip lain dari bentuk pemerintahan islam ini adalah al-Masuliyyah dan amanah yang berarti tanggung jawab dan dapat dipercaya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Annisa ayat 58.
 •           ••     •      •       
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (Q.S. Annisa ayat 58).























BAB III
PEMBAHASAN

A. Demokrasi di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut demokrasi. Bahkan dalam sejarahnya juga dikatakan bahwa demokrasi ini telah dianut sejak pemerintahan Soekarno yang dikenal dengan demokrasi terpimpin. Selanjutnya dalam pemerintahan Suharto pun dikenal dengan demokrasi pancasila. Hingga pada akhirnya saait ini bahwa Indonesia masih menganut demokrasi yang ditandai dengan adanya berbagai pemilihan umum dalam menentukan pemimpin negara.
Adapun terkait dengan konstitusi yang digunakan yaitu UUD 1945 dan dasar negara yaitu pancasila. Kedua hal tersebut, apabila dianalisis ternyata menunjukan adanya prinsip demokrasi, khususnya dalam pancasila sila ke empat yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”
Dari bunyi sila ke empat tersebut, dapat dinyatakan bahwa demokrasi yang dianut oleh Indonesia adalah demokrasi yang tidak langsung yaitu sistem demokrasi yang dijalankan menggunakan sistem perwakilan yang diwakilkan kepada badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Walaupun demikian adakalanya rakyat juga berpartisipasi langsung dalam pemerintahan seperti pada pemilihan menentukan pemimpin atau Presiden, Wakil Presiden, Gubernur dan sebagainya.
Dalam hal ini rakyat berhak menentukan secara bebas siapa saja yang akan dipilih sesuai dengan keinginan hatinya, tanpa harus dipaksa oleh berbagai pihak tertentu. Tentunya dalam hal ini secara tidak langsung para rakyat akan memilih pemimpin yang mampu mensejahterakan negara secara keseluruhan yang sesuai dengan cara hidup yang baik menurut masing-masing individu. Atau secara langsung dapat dikatakan bahwa esensinya adalah dari rakyat dan untuk rakyat yang harus dijalankan pula oleh rakyat.
Kembali lagi pada pancasila, pada dasarnya pengkajiannya tidak bisa secara parsial atau terpotong-potong karena seluruh sila tersebut merupakan kesatuan yang utuh, tidak bisa dipisah-pisahkan. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa Tim Penulis Dosen pendidikan Agama Islam Universitas Indonesia (2009: 181) menyatakan bahwa “pancasila dapat dilihat terdiri dari sila pertama sebagai dasar, sila kedua sebagai pancaran sila pertama, sila ketiga sebagai wahana, sila keempat sebagai cara, dan sila kelima sebagai tujuan.” Artinya yang dijadikan dasar seseorang menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara di negara Indonesia diawali atau didasari dengan “Ketuhanan yang Maha Esa”, artinya apabila individu sebagai umat Islam maka dalam kehidupannya harus dilandasi dengan syariat sesuai agamanya hal ini kemudian akan dipancarkan pada sila kedua yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam wahana sila ketiga “persatuan Indonesia”. Bermodalkan ke tiga sila tersebut dapat dilakukan melalui sila keempat  “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” yakni demokrasi, dan pada akhirnya akan tercapai sebuah tujuan yang terdapat pada sila ke lima yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa pancasila ternyata memadukan nilai-nilai spiritual dan duniawi, yakni sila pertama dengan sila ke lima yang dapat diwujudkan melalui sila keempat, sebagai salah satu bentuk demokrasi. Hak ini dapat dilihat dari  kaidah-kaidah demokrasi yang dikemukakan oleh Kotowijoyo (Tim Penulis Dosen pendidikan Agama Islam Universitas Indonesia, 2009: 181) di antaranya “(1) Taaruf, (2) syuro (musyawarah), (3) ta’awun, (4) maslahah, dan (5) ‘adl (adil). Maka dapat disederhanakan bahwa syura atau musyawarah itu merupakan bagian dari demokrasi.” Akan tetapi terkait dengan syuro ini akan lebih baik jika dikaji lebih lanjut. Untuk memahami lebih lanjut, akan disajikan pada uraian selanjutnya.


B. Demokrasi dalam Pandangan Islam
Islam merupakan agama yang sempurna, salah satunya ditandai dengan sistemnya yang komprehensif. Artinya tidak ada satu perkara pun dalam hidup ini terlepas dari perhatian agama islam. Begitupun perkara yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan juga kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya bentuk pemerintahan dalam islam diatur dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Terkait dengan bentuk pemerintahan yang dianut di Indonesia adalah demokrasi, sebetulnya demokrasi ini tidak dikenal dalam islam. Di sisi lain dalam praktik penyelenggaraan negara modern saat ini, istilah musyawarah seringkali identik dengan demokrasi. Paling tidak seringkali demokrasi dalam pandangan islam ini dikaitkan dengan istilah syura/ musyawarah.
Adapun Asy-Syawi (1997: 383) meyatakan yang dimaksud dengan syura adalah “tukar menukar pendapat, dan ikut serta dalam hal tanggung jawab masyarakat dan dalam menjalankan urusan-urusannya, serta mengambil ketetapan-ketetapan yang menjadi keperluan jamaah.” Namun demikian bahwa yang dimaksud dengan demokrasi adalah bentuk syura versi Barat dan tidak seluruhnya sama benar dengan syura yang dimaksud dalan Islam, karena musyawarah demokrasi lebih menekankan pada suara mayoritas saja tanpa terlalu mempertimbangkan syariat-syariat Islam. Artinya hasil musyawarah yang dijadikan patokan untuk memutuskan kebijakan adalah suara mayoritas tanpa memandang kesesuainya dengan syariat-syariat Islam. Berkaitan dengan hal tersebut,  Al-Aqqad (Tim Penulis Dosen pendidikan Agama Islam Universitas Indonesia, 2009: 177) menyatakan bahwa “suara mayoritas dalam musyawarah bukanlah tolak ukur kebenaran menurut konsep Islam, karena dalam berbagai ayat dan surat Al-Qur’an jelas tidak membenarkan asumsi bahwa suara mayoritas mutlak kebenarannya”.
Lebih lanjut demokrasi yang berkembang dari dunia Barat ini juga seringkali dipahami bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat. Sedangkan dalam Islam, kekuasaan mutlak hanya berada pada Allah. Hal ini sesuaia dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Araf ayat 56.
                •                    
Artinya: Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy[548]. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam. (Q.S. Al-Araf ayat 56).
Dari ayat ini berkaitan dengan demokrasi yang perlu digaris bawahi bahwa “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam, ” ini menunjukan bahwa kedaulatan yang sesungguhnya hanyalah di tangan Allah. Dalam hal ini Al-Maududi (Tim Penulis Dosen pendidikan Agama Islam Universitas Indonesia, 2009: 177) menyatakan bahwa “musyawarah yang diistilahkan demokrasi Islam menyandarkan politiknya pada landasan kedaulatan Tuhan dan kekhalifahan manusia.” Artinya dalam islam diyakini bahwa kekuasaan mutlak itu hanya berada di tangan Allah swt., hanya saja manusia ini berperan sebagai khalifah atau wakil dalam mengambil keputusan tertentu yang harus sesuai dengan hukum-hukum Allah yaitu Al-Qur’an dan Hadist.
Sebagaimana dibahas dalam bab sebelumnya dikatakan bahwa demokrasi ini memang tidak seluruhnya bertentangan dengan Islam, tetapi juga tidak seluruhnya sejalan dengan Islam. Adapun dalam hal ini, di sisi lain apabila dianalisis lebih jauh, demokrasi dan Islam ini dapat ditemukan titik temunya. Tim Penulis Dosen pendidikan Agama Islam Universitas Indonesia (2009: 178) menyatakan bahwa “titik temu itu terletak pada perilaku sesungguhnya bahwa keduanya merupakan realitas budaya dengan subjek yang sama yaitu manusia.” Artinya islam sebagai agama ini dapat diwujudkan atau diaktualisasikan pada saat islam mampu dipahami, dihayati dan dipraktekan oleh umatnya dalam realitas budaya, termasuk budaya yang melembaga atau pemerintahan suatu negara.
Lebih lanjut dalam hal ini, demokrasi yang berkembang dalam di kalangan umat Islam memerlukan sikap para pemeluknya untuk meyakini dan menghayati ajaran atau syariat secara benar, walaupun hal ini hanya komitmen untuk pribadi, justru akan menjadikan masing-masing orang akan mendapatkan semangat yang sama seperti yang diajarkan agamanya untuk menjungjung tinggi nilai dan harkat derajat kemanusiaan dengan demokrasi. Misalnya di negara Indonesia yang notabennya Islam berada pada mayoritas ini akan memberikan kemudahan dalam menjalankan demokrasi yang sesuai dengan syariat Islam. Artinya ketika semua warga negara Indonesia  yang memeluk agama Islam mamapu meyakini dan menghayati ajaran atau syariatnya secara benar, maka dengan jumlahnya yang mayoritas tersebut memungkinkan aspirasi-aspirasi atau keputusan yang diberikanpun tidak akan jauh dari syariat yang yang pegang, sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil pun adalah kebijakan yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist.
 Adapun Al-Qardawi ((Tim Penulis Dosen pendidikan Agama Islam Universitas Indonesia, 2009: 179) menyatakan bahwa
Demokrasi yang sebenarnya yang memberikan bentuk dan cara praktis, seperti pemilihan dan referendum umum, mendukung pihak mayoritas, menerapkan sistem multi partai, memberikan hak kepada minoritas untuk beraposisi, menjamin kebebasan pers dan kemandirian peradilan.
Dalam uraian selanjutnya Al-Qardawi memandang bahwa hal ini tidak bertentangan dengan islam atau Al-Qur’an dan Hadist. Lebih lanjut Hidayat (Tim Penulis Dosen pendidikan Agama Islam Universitas Indonesia, 2009: 179) menyatakan pendapatnya yang memperkukuh demokrasi dalam hubungannya dengan agama yakni sebagai berikut.
Bila cita-cita demokrasi dan misi agama adalah pendidikan dan pelayanan pada masyarakat untuk mengaktualisasikan potensi manusianya melalui pranata masyarakat dan negara, maka agama dan demokrasi mestinya saling mengisi. Agama memberikan pedoman moral dan daya imperatif yang bersifat transenden, yang datang dari atas. Sementara demokrasi merupakan dinamika etis kemanusiaan yang datang dari bawah...semakin tinggi tingkat keberagamaan seseorang, barangkali akan semakin tinggi apresiasinya terhadap demokrasi. Begitu pun sebaliknya, semakin tinggi kadar penghayatan demokrasi seseorang, akan semakin toleran ia menghadapi pluralisme keberagamaan.
Artinya dalam hal ini dapat dipahami bahwa Islam sebagai agama memberikan pedoman kepada manusia untuk memahami makna yang terkandung dalam demokrasi. Dimana demokrasi dalam hal ini diterima dan dipoles dengan Islamisasi. Adapun di lain pihak, ketika seseorang itu benar-benar memiliki penghayatan yang benar terhadap Islam, secara tidak langsung dapat mampu memahami adanya beberapa nilai-nilai Islam yang terkandung dalam demokrasi, sehingga memiliki apresiasi yang tinggi terhadap demokrasi. Bahkan dalam perkembangannya hal ini juga memunculkan adanya islamisasi demokrasi.
Selanjutnya islam sebagai pedoman hidup manusia. Artinya Islam senantiasa memberikan pedoman cara-cara menjalani hidup. Adapun terkait dengan domokrasi ini ternyata ada beberapa hal yang secara tidak langsung menggambarkan cara untuk hidup (way of life). Hal ini dapat dilihat dari adanya sikap saling menghargai pendapat orang lain, kesetaraan, tidak sewenang-wenang, dan berorientasi pada kepentingan bersama. Begitupun dalam konteks pemerintahan bahwa demokrasi ini melibatkan pihak rakyat (suara rakyat). Lebih lanjut juga demokrsi ini menegaskan pentingnya pencapaian hak-hak rakyat. Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang memeperlakukan setiap warga negaranya memiliki kedudukan yang sama, tidak ada yang diistimewakan atau dibeda-bedakan golongan atau pribadi tertentu, dalam islam hal ini dikenal dengan al-musawah.

C. Masyarakat dalam Menyikapi Demokrasi di Indonesia
Berdasarkan uraian sebelumnya, dikatakan bahwa demokrasi dalam pandangan Islam ini tidak seluruhnya sejalan dengan Islam, akan tetapi tidak seluruhnya juga sejalan dengan Islam. Sehingga dalam hal ini umat sebagai rakyat atau masyarakat dalam sebuah negara demokrasi, perlu memiliki sikap yang bijaksana dalam menanggapi demokrasi.
Begitupun sebagai masyarakat Indonesia yang memiliki bentuk pemerintahan negaranya demokrasi, dan di lain pihak mayoritas penduduknya beragama Islam, perlu juga memiliki sikap yang sebijak-bijaknya dalam menanggapi demokrasi. Dalam hal ini tidak diperkenankan rakyat menolak bentuk pemerintahan yang digunakan sehingga misalnya tidak ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum, yang dilandasi dengan idealisme bahwa demokrasi ini bertentangan dengan Islam, sehingga berdampak pada tidak memberikannya kontribusi dalam menentukan sebauh keputusan, misalnya dengan selalu menjadi golongan putih saat Pemilu. Begitupun juga sebaliknya bahwa dalam hal ini juga tidak diperkenankan rakyat terlalu fanatik terhadap demokrasi sehingga dalam menjungjung tinggi hal ini benrdampak adanya sebuah sikap untuk selalu menyetujui hasil keputusan mayoritas sekalipun yang bertentangan dengan syariat, dengan dilandasi bahwa kebenaran sepenuhnya ada pada suara mayoritas. Kedua hal ini tentu sangat tidak diharapkan.
Adapun sikap bijak yang dapat dilakukan masyarakat Indonesia khusunya yang beragama Islam, adalah berpartisipasi dalam penyelenggaraan demokrasi dengan dilandasi oleh nilai-nilai islami, atau dengan singkat dapat dikatakan islamisasi demokrasi atau memasukan nilai-nilai islam pada demokrasi. Artinya sebagai warga negara yang baik, maka setiap warga baik pemerintah atau pun rakyat secara bersama-sama menjalankan perannya untuk mencapai cita-cita demokratis yang dalam hal ini dilandasi dengan nilai-nilai islami.
Lebih lanjut Salim Ali Al-Bahnasawi (http://layartekno.blogspot.com/2012/11/memahami-konsep-islam-tentang-demokrasi.html) mengungkapkan bahwa ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut.
a. Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
b. Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
c. Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
d. Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa pertama terkait dengan menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah. Hal ini melahirkan pemikiran bahwa pada dasarnya demokrasi yang melibatkan rakyat khususnya makna “dari rakyat” maka dalam berpartisipasi memberikan keputusan harus dilandasi dengan pertimbangan yang sebaik-baiknya tidak asal-asalan. Dalam hal ini keputusan setiap individu berpengaruh pada kebijakan yang akan diambil oleh negara, sehingga dalam hal ini masyarakat harus selektif dalam memilih keputusan terbaik khususnya yang sesuai dengan syariat Islam dan atau sama sekali tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist. Hal ini harus diperhatikan karena setiap tindak tanduk manusia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt.
Kedua, terkait dengan wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam bermusyawarah dan tugas-tugas lainnya. Artinya ketika berperan sebagai masyarakat atau yang memilih wakil rakyat maka pilihlah sosok yang berakhlk islam agar ketika bermusyawarah atau menjalankan tugas-tugas laiinya  tidak bertentangan dengan syariat Islam. kemudian dalam mengambil kebijakan dalam musyawarah pun tetapa mengambil keputusan yang sejalan dengan syariat Islam. Begitu pun ketika menjadi wakil rakyat, maka bertindaklah sesuai dengan syariat Islam yang dipancarkan dengan akhlak islami dalam mengamban berbagai tugas.
Ketiga, terkait dengan perlunya ditanamkan pendangan bahwa mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah. Artinya tidak terlalu panatik atau idealis bahwa kebenaran berada pada suara mayoritas. Hal ini sejalan dengan firman Alalh dalam Q.S An-Nisa ayat 59.
                                
Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S An-Nisa ayat 59).
Ayat ini menjelaskan bahwa sebagai orang beriman maka yang wajib ditaati adalah Allah dan Rasul. Sementara ulil amri ini ada yang boleh ditaati adapula yang tidak harus ditaati. Ketika ulil amri menjalankan hal tertentu sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist maka diperbolehkan untuk ditaati, namun ada suatu kondisi tidak harus taat kepada ulil amri yaitu saat keputusannya bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist. Adapun firman Allah dalam ayat lain terdapat dalam surat Al-Ahzab ayat 36.
         •             •     
Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata. (Q.S Al-Ahzab ayat 36).
Sama halnya dengan ayat sebelumnya bahwa pada ayat ini setiap mukmin harus taat terhadap ketetapan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menentang ketetapan tersebut atau tidak diperkenankan untuk lebih memilih ketetapan lain yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist.
Adapun keempat adalah komitmen terhadap Islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen. Artinya dalam hal ini sebagai rakyat harus mampu berperan dalam menentukan pejabat-pejabat tebaik yang bermoral Islam, begitupun ketika dalam suatu kondisi berperan sebagai pejabat yang duduk di parlemen, maka tunjukanlah kepantasan untuk berada di tempat tersebut melalui realisasi akhlak yang bermoral Islam.
Selain itu, salah satu sikap yang harus dimiliki masyarakat Indonesia pemeluk Islam adalah mampu meyakini dan menghayati serta mengaplikasikan berbagai hal sesuai dengan ajaran atau syariat Islam, sehingga ketika individu-individu tersebut bereran sebagai penyelenggaran demokrasi, hal tersebut tetap sejalan dengan syariat Islam.



















BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian bab sebelumnya penulis dapat mengemukakan kesimpulan sebagai berikut.
1. Demokrasi di negara Indonesia merupakan demokrasi yang tidak langsung atau dalam bentuk perwakilan. Hal ini dapat dilihat dari kandungan UUD 1945 dan Pancasila. Dalam hal ini pancasila menunjukan bahwa bangsa Indonesia menganut demokrasi yang tertera pada sila keempat yang dilandaskan pada sila pertama. Hal ini kemudian melahirkan pemahaman pancasila memadukan nilai-nilai spiritual dan duniawi, yakni sila pertama dengan sila ke lima yang dapat diwujudkan melalui sila keempat, sebagai salah satu bentuk demokrasi.
2. Demokrasi dalam pandangan Islam pada dasarnya tidak seluruhnya bertentangan dengan syariat Islam, dan di sisi lain juga tidak seluruhnya sejalan dengan syariat Islam. Sehingga dalam hal ini para rakyat Indonesia harus mampu memahami dan menghayati ajaran agamanya sehingga dapat dijadikan bekal untuk menjalankan demokrasi berlandaskan agama.
3. Sikap masyarakat khususnya muslim dalam menanggapi demokrasi Indonesia adalah mendukung dan bersama-sama mnecapai tujuan demokrasi dengan nilai-nilai islami atau islamisasi demokrasi.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis dapat mengemukakan saran sebagai berikut.
1. Warga negara Indonesia yang menganut agama Islam harus mampu memahami bahwa demokrasi ini tidak seluruhnya bertentangan dengan Islam dan tidak seluruhnya juga sejalan dengan islam. berawal dari pemahaman tersebut maka diharapkan sebagai salah satu pemeran dalam perwujudan demokrasi mampu bersikap dengan sebijak-bijaknya.
2. Warga negara Indonesia yang menganut agama Islam harus mampu meyakini, menghayati, dan menjalankan ajaran agama atau syariat islam. Sehingga ketika negara menggunakan bentuk pemerintahannya demokrasi, maka terselenggaranya demokrasi tersebut dilandasi dengan nilai-nilai islami.














DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Asy-Syawi, Taufik. (2009). Syura bukan Demokrasi. Jakarta: Gema Insani Press.
Darmawan, Cecep. (2009). Memahami Demokrasi Perspektif Teoretis dan Empiris. Bandung: Pustaka Aulia Press.
Hakim, Zaenal. (2012). Sejarah Demokrasi. Online. Tersedia: (http://www.zainalhakim.web.id/sejarah-demokrasi.html.
Huki, Luci. (2013). Sejarah Demokrasi. Online. Tersedia: (http://blogbelajar-pintar.blogspot.com/2013/09/sejarah-demokrasi.html).
Layar tekno. (2012). Memahami konsep islam tentang demokrasi. Online. Tersedia: (http://layartekno.blogspot.com/2012/11/memahami-konsep-islam-tentang-demokrasi.html).
Tim Penulis Dosen pendidikan Agama Islam Universitas Indonesia. (2009). Islam Tuntunan dan Pedoman Hidup. Bandung: Value Press.